H - 14 ☔

1.8K 144 0
                                    

Untuk mendampingi seseorang yang kamu anggap besar, kamu sudah berhasil karena senyum yang selalu kau ukir. Bahkan ketika senyum itu melukai dirimu sendiri.

Beberapa hari lalu setelah Nabila terbaring lemah dirumah sakit. 2 hari setelahnya aku dan Nabila mengambil cuti untuk 3 Minggu menjelang pernikahan.
Pernikahanku tinggal 2 Minggu lagi, semua undangan telah disebarkan, kesibukan antara dua keluarga juga semakin menyita waktu antara satu sama lain.

*_nabila pov_*

Di dua minggu menjelang ijab aku menyempatkan untuk berkunjung ke rumah mas Zidan. Selain silaturahmi aku juga ingin lebih dekat dengan ibuk ataupun ayah dari calon suamiku.

"Assalamu'alaikum"
Ku mencium punggung tangan ibuk dan ayah bergantian.

"Ayo nak, ibuk sedang memasak didalam"
Ibuk menuntunku kedalam rumah.

Saat sampai diruang tamu aku melihat sosok wanita yang aku kenal, wanita yang beberapa kali aku coba hindari itu tengah duduk bersebrangan dengan mas Zidan.

"Ada Maria nak, dia teman dekatnya Zidan."
Ibuk mencoba mengenalkan Maria padaku.

Aku mengangguk sambil menatap Maria yang sekarang tersenyum palsu.

"Kapan kamu datang maria?" Tanyaku mencoba dengan nada ramah.

"Kemarin, aku mempunyai kerabat disekitaran sini, lalu aku tadi mampir kesini," jawab Maria dengan sedikit tersenyum. Mungkin karena ada ibuk disini.

"Oh iya Nabil, Maria ini setiap ada waktu pasti mampir kesini loh. Mangkanya ibuk kenal dekat sama dia," jelas ibuk.

Hatiku kembali tertusuk mendengar penuturan ibuk. Selama itu kah Maria telah dekat dengan keluarga mas Zidan.

"Ibu mau masak ya?. Maria boleh bantuin," tawar Maria. Ibuk tersenyum sambil berkata "iya,"

"Buk, aku juga boleh ikut ya," ucapku cepat.

Ibuk kembali tersenyum. "Ayo nak,"

Aku dan Maria langsung mengikuti ibuk ke dapur. Mas Zidan hanya menatap tingkah kekanakan kami.

"Ibuk biar aku yang masak tumisnya ya,"

Maria langsung memotong dan meracik tumis pepaya muda dengan sangat lihai.

Sedangkan aku masih menatap bingung mau ngapain, jujur aku sangat jarang sekali berada di dapur.

"Buk, Nabila masak ayamnya ya"

Akhirnya aku memilih untuk menggoreng ayam itu sesuai dengan instruksi ibuk.

"Biar Maria aja buk yang cuci piringnya"

Maria langsung mengambil alih pekerjaan ibuk. Karena semua sudah matang dan tinggal membereskan cucian piring kotor, aku berinisiatif untuk membantu Maria. Tapi Maria malah sewot.

"Biar Nabila aja buk yang beresin"

Aku ikut memegang piring kotor yang tadi dipegang Maria. Tapi Maria malah menariknya lagi.

"Nggak usah, biar saya aja," sengit Maria.

"Biar aku aja," balasku tak mau kalah.

Pyaar.....

Hingga pada akhirnya kita saling berebut dan menjatuhkannya tanpa sengaja.

Aku melongo begitu saja memandangi kepingan beling disekitar kaki kami. Begitupun dengan ibuk dan mas Zidan.

"Sudah ku bilang jangan berebut," sentak mas zidan.

Ibuk mengusap lengan mas Zidan untuk menenangkan putranya.

"A, aku cuman mau bantuin"
Lirihku sambil menundukkan kepala.

"Kalau nggak bisa ngerjain ya jangan ikut-ikutan la," tukas mas Zidan.

Hatiku sakit rasanya dari tadi selalu dibanding-bandingkan dengan Maria.
Mulai dari rasa tumis Maria yang enak, dan ayam goreng ku yang kekerasan. Pisang goreng Maria yang renyah, dan gorengan ku yang masih lembek. Kopi buatan Maria yang pas, sedangkan kopi buatku terlalu manis. Dan sekarang piring itu.

"Sudahlah Zidan, tak apa. Nabila nanti juga belajar kok."

Ayah masuk kedapur melihat kekacauan apa yang terjadi barusan.

"Nggak apa Nabila, nanti ibuk ajarin biar bisa seperti Maria," sanggah ibuk.

"Ya sudah, ayo makan" putus ayah menggiring kami semua kemeja makan.

Hatiku semakin teriris mendengar ibuk mengunggulkan Maria. Apalagi diruang makan sekarang Maria selalu tersenyum menang saat semua memuji masakannya dan memojokkan ku.

"Lain kali, kalau nggak pernah megang dapur ya nggak usah mau ambil hati," ucap mas zidan tegas.

Benar kata-kata itu diucapkan dengan pelan, tapi itu begitu menusuk hatiku. Bahkan ketika senyum kemenangan dari Maria kembali terlihat mataku.

Tanpa bicara apapun aku hanya berpamitan dengan ibuk dan ayah lalu pulang begitu saja.
_________⚓_______

Sampai didepan rumah aku langsung berlari ke kamar ku dan mengunci pintu kamar tanpa menghiraukan teriakan bapak, mamak, dan Fahri dari balik pintu.

"Nabila, kamu kenapa nak?" Mamak terus berteriak dengan kata-kata itu.

"Nabila ada apa nak, apa yang terjadi"
Bapak juga masih didepan pintu dengan pertanyaan yang diulang-ulang.

"Kak buka pintunya, Lo kenapa. Apa yang terjadi" Fahri yang sedari tadi terus menggedor pintu tanpa lelah.

Air mataku terus mengalir tanpa henti ketika pikiranku kembali terngiang-ngiang kata-kata yang memojokkanku tadi. Bukan siapa-siapa, tapi mas Zidan sendiri yang begitu menohok hatiku dengan kata-kata pedasnya tadi.

"Kak, apa yang dilakuin mas Zidan sama Lo. Sampai Lo kayak gini"
Fahri kembali berteriak dari balik pintu.
Aku yakin mereka semua masih didepan pintu kamarku.

"Batalin aja pernikahannya. Aku nggak mau kalau terus-terusan dapat omongan pedas karena nggak bisa masak!"

Kali ini aku berteriak menjawab segala pertanyaan mereka.

"Tapi nak, semua tinggal sebentar lagi!"
Tukas mamak.

"Nabila nggak peduli!" Balasku.

"Apa yang mas Zidan lakuin ke Lo kak?" Kali ini Fahri kembali bertanya.

"Aku nggak mau terus dibanding bandingkan dengan wanita lain. Itu aja! hik.. hik.."
Aku menangis sampai sesenggukan kalau terus mengingat kejadian tadi.

"Nabila, semua bisa diselesaikan dengan baik-baik nak," ucap bapak lembut.

"Iya kak, kita bicarain dulu" sanggah Fahri.

"Nggak mau tau. Nabila masa bodo. Pokoknya batalin aja, nggak jadi nikah aja!"
Sarkasku, lalu kembali diam tak mau menjawab segala omongan dari luar.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang