Haruskah cinta dipertanyakan oleh masa lalu yang melibatkan cinta diantara dua orang yang tengah meneguk cinta.
🌹Matahari mulai naik sampai ubun-ubun kepala. Jalanan kota Surabaya terasa lenggang dengan hanya dilalui beberapa pengendara motor dan mobil kecil. Mungkin semua orang hari ini merasa enggan untuk bepergian.
Dari pinggir jalan tepat di belakang rumah sakit tempatku bekerja terdapat beberapa penjual dawet berjejer rapi. Saling mengundi nasib mencari pundi-pundi rupiah dikota ini.
Kerongkonganku terasa sangat haus dengan dibuktikan beberapa bulir keringat yang membasahi hijab khirmiziku. Sambil menenteng koper berukuran sedang aku memilih duduk didepan gerobak dawet paling terdekat dengan rumah sakit.
"Mbk Nabila baru selesai dinas ya ?"
Tanya tukang dawet sambil membuatkan segelas pesananku.Pak penjual dawet ini sudah mengenalku dari 2 tahun lalu, tepatnya saat aku pertama magang disini. Dia meneliti tampilanku yang menurutku masih lumayan lah walaupun wajahku kucel sedikit.
"Endak pak, saya baru seminar dari Jakarta."
Aku tersenyum singkat saat tangan penjual itu mengulurkan segelas dawet. Tanpa pikir panjang aku segera menyeruputnya untuk menghilangkan kehausan dahagaku.
"Owalah, baru sampai bandara ya nak ?"
Aku mengangguk singkat.
"Iya pak, belum sempat ganti."
Cengiranku."Kok Ndak dijemput sama suaminya ?"
Mendengar pertanyaan itu aku sedikit tersentak. Aku lupa belum mengabari mas Zidan kalau aku sudah sampai disurabaya beberapa menit lalu karena ponselku lowbat saat pesawat mulai landing dan akhirnya ponselku pun mati dalam sekejap.
"Endak pak, saya mau kasih kejutan."
Sekali lagi aku hanya nyengir canggung pada tukang dawet langgananku ini. Rindu sekali aku pada ayah dari anakku ini. Tanganku mengusap perutku yang mulai terlihat buncit sedikit. Menyalurkan perasaan hangat yang ada untuk baby yang aku nantikan beberapa bulan lagi. Usia kehamilanku sudah memasuki 6 bulan, tapi berat badanku tidak begitu naik seperti ibu hamil pada umumnya.
Triiiiing.....Dering ponsel seseorang disamping tempatku duduk membuyarkan lamunanku saat minum es dawet tadi lantas membuat kepalaku berputar kearahnya. Tanpa sengaja pandanganku menangkap sepasang pria dan wanita yang saling melempar pandangan duduk satu meja di restoran depan rumah sakit, lebih tepatnya restoran tersebut terletak 3 meter disebelah kiri gerobak penjual dawet.
Tidak ada yang salah dari muda mudi tersebut. Mereka hanya sedang bersua mesrah dengan iringan tawa bahagia. Suasana yang diciptakan juga hangat, apalagi sekarang tangan wanita itu sedang menangkup tangan lelakinya. Dan mirisnya lagi lelaki yang dimaksud dari tadi adalah suamiku. Ayah dari anak yang ku kandung saat ini.
"Mas Zidan sama Indria,"
Lirihku menatap mereka berdua dari kejauhan. Kulihat mas Zidan masih menggunakan seragam lorengnya dengan ditutupi jaket hitam yang terlihat pas ditubuhnya. Sedangkan Indria pun memakai kemeja hitam dan jas putih dokter yang masih melekat."Apa ini jawaban untuk sikap mas Zidan yang selama ini susah ku hubungi."
Batinku bertanya.Melihat suasana riang yang tercipta dari mereka berdua membuatku meneteskan sebulir air mata. Perih sekali semua praduga dan asumsi yang penuh dikepalaku sekarang.
"Tenanglah Nabil, kamu punya kesempatan untuk meminta penjelasan nanti."
Terkadang tersenyum sendiri itu menyembuhkan hati yang cemas. Sama halnya seperti bicara sendiri ataupun kata batin sendiri yang mampu menghibur hati yang luka.
"Nabila!"
Panggil Mia berteriak. Tak lupa pula dia melajukan motornya menyebrangi jalan menuju kearahku. Dengan segera aku langsung cepat-cepat menghapus air mataku agar tidak ketahuan Mia.Temanku yang satu ini memang ajaib. Sudah tahu kalau jaraknya denganku masih jauh, eh dia nggak ada malu dengan berteriak memanggilku. Kalau seperti ini, siapa yang malu. Aku juga kan ?.
"Kok nggak bilang kalau pulang sekarang ?,"
Dia menyodorkan sebuah helem padaku. Aku mengerutkan alis meminta penjelasan dari mana dia tahu kalau aku ada disini.
"Handphone ku mati mi, Ndak sempat telvon siapapun. Lah kamu, kok tahu aku ada disini,"
Jawabku sambil memakai helem yang tadi Mia sodorkan."Gue gitu loh... Insting gue kan tajam, setajam cenayang." Balasnya enteng.
Aku nyengir jijik pada pemikiran wanita satu ini. Bisa-bisanya dia narsis ditempat umum seperti ini.
"Beneran ih," gerutu.
Mia malah menepuk jok belakang motornya dengan maksud menyuruhku naik.
"Aku tadi ketemu sama Danil, katanya dia lihat Lo disini bawa koper. Tadinya dia mau nyamperin Lo, eh tapi dia kan lagi sama calon istrinya." Jawab mia menekan kata calon istri sebagai arti dia masih tidak rela dengan perasaannya yang bertepuk sebelah tangan.
"Terus kenapa kamu yang sekarang nganterin aku pulang ?,"
Tanyaku lagi. Aku naik ke jok belakang motornya, setelah itu Mia membantu membawakan koper berukuran sedang itu dibagian depan motornya.Mia menoleh kebelakang. Menatapku sekilas sambil memutar mata malas.
"Ya... Gue kasihan lah lihat ibu hamil dipinggir jalan sendirian, selain itu gue juga kangen mau curhat sama Lo."
Cengiran Mia membuatku terkikik kecil."Kau ini. Sudah ayo, antar aku pulang. Badanku capek semua"
Bukannya segera melakukan motornya, Mia Malah kembali menoleh kearahku.
"Eh, emangnya mas Zidan kemana ?"
Tanya Mia serius.Sesaat Aku terdiam, mataku kembali melirik dua orang yang masih setia ada didalam restoran itu. Saat itulah hatiku kembali teriris sembilu cemburu.
"Dia sibuk mungkin,"
Jawabku seadanya.Mungkin Mia mengerti kalau aku lagi tak mau membahas tentang itu dengan menunjukkan perkataan dinginku tadi. Tapi aku yakin kalau Mia pasti tak akan tinggal diam sama rasa penasarannya. Entah itu kapan, bisa dipastikan kalau Mia akan bertanya padaku kenapa, ada apa, bagaimana, dan lain sebagainya.
Sampai dirumah pun suasana begitu sepi. Mas Zidan mungkin masih bersama wanita itu. Aku hela nafas kasar sejenak dengan tangan yang memegang dadaku. Sulit rasanya jika melawan masa lalu yang menjadi masa sekarang, sama sulitnya dengan menjaga hati yang menjadi miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku pendamping marinir
RomanceUntuk mendampingi orang besar seperti mu aku harus bisa tangguh sepertimu. agar aku tak mundur jika kamu membutuhkanku menahan keluh kesah mu. kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan, ketika sang marinir memenuhi panggilan pertiwi, aku harus mampu...