Suara hati Indria 🍂

2K 130 5
                                    

Dalam kisahku kamu menjadi tokoh antagonis. Namun dalam kisahmu, akulah tokoh antagonis itu. Cinta memang selalu membuat sudut pandang salah pada mata hati yang terluka.
🍂

Ditempat kerja aku masih tak bisa menutupi keresahanku tentang kejadian kemarin. Bagaimana aku harus bersikap pada Indria nanti ketika kita bertemu. Entahlah, aku tak bisa berpikir sekarang.

"Dek, nanti mas antar sampai depan ya,"

Mas Zidan mendekat kearahku. Dia kesusahan memasang kera teratas baju lorengnya.

"Mas pulang jam berapa?"
Tanyaku padanya.

Jemariku membantunya memasangkan kancing teratas bajunya dan menata baret ungu miliknya. Hari ini mas Zidan kembali dinas di korps marinir, Mas Zidan pasti masih lelah karena semalam kita habis mengadakan acara 4 bulanan. Padahal mas Zidan juga baru selesai melakukan ekspedisi yang memakan waktu 2 bulan lamanya. Semua itu sangat terlihat dari warna hitam halus disekitar matanya.

"Mungkin sore. Tapi mas nanti tetap jemput kamu kok,"
Ucapnya sambil tersenyum.

"Baiklah,"
Jawabku membalas senyumnya.

Sepanjang perjalanan mas Zidan tak henti menceritakan tentang pengalamannya melaksanakan tugas kemarin. Jika dia berhenti bercerita maka aku memintanya untuk melanjutkan ceritanya. Ndak tau, rasanya aku ingin sekali melihatnya banyak bicara seperti saat bercerita sekarang.

"Anak ayah jangan nakal ya, kasihan bundanya."
Mas Zidan mengusap perutku yang masih rata. Seketika hatiku menghangat.

"Aku masuk dulu ya, mas."

Setelah turun dari motor aku langsung mengambil tangan mas Zidan lalu menciumnya takzim.

"Hati-hati ya, dek."

Aku memilih mengangguk sambil tersenyum. Melihat mas Zidan yang masih setia melihatku dari ujung gerbang masuk rumah sakit membuat langkahku begitu ringan untuk masuk kedalam.
___________⚓__________

"Aku keruanganku ya, mi."
Ucapku saat sampai didepan pintu ruanganku pada Mia.

Usai makan siang di kantin aku memutuskan untuk kembali keruanganku. Aku butuh istirahat, akhir-akhir ini aku mulai mudah lelah.

"Oke. Gue juga balik deh,"
Jawab mia mantap.

Ketika aku membuka pintu aku langsung melihat seorang wanita yang duduk manis dikursi pasien. Dia duduk dengan tenang, melihatku masuk, dia langsung menyunggingkan senyum manisnya.

"Hai Nabil,"
Sapa wanita itu setelah dari kemarin kita tak bertemu sama sekali. Entah dia yang mencoba menghindar atau aku yang menghindar.

"Indria," lirihku.

Aku berjalan pelan menuju kursiku yang terletak didepan kursi tempatnya duduk.

"Bolehkah kita bicara. Sebentar,"

Aku menatapnya sekilas. Sangat terlihat sebuah tekanan berat dari sirat matanya.

"Bicaralah,"

Indria menghembuskan nafasnya kasar. Dia juga memperbaiki posisi duduknya seakan mengatakan kalau dia bingung harus mulai dari mana.

"Kamu beneran sudah menikah ?,"

Sudah ku duga kemana arah pembicaraan ini. Dan sekarang bisa aku pastikan kalau ujung cerita ini bukanlah hal baik.

"Ya, aku sudah menikah."

Aku menunjukkan cincin pada jare manisku. Indria tersenyum miring yang sulit ku artikan.

"Dengan Zidan. Sudah berapa lama ?"

Aku kembali memberikan tatapan intimidasi pada wanita yang duduk dan bicara dengan santai sambil bersendekap tangan didepan dada.

"8 bulan lalu. Bukankah yang dikatakan mas Zidan waktu itu sudah jelas,"

Aku sengaja menekan kata mas Zidan padanya. Indria kembali tersenyum miring seperti tak suka akan jawabanku.

"Aku rasa, aku belum terlalu terlambat."
Katanya enteng.

Mataku bergerak mencari arti kata 'belum terlalu terlambat'.

"Maksudmu ?,"

Indria memperbaiki duduknya menjadi tegap lalu memberiku tatapan serius. Jika bukan dalam situasi ini, bisa dipastikan aku akan terkagum pada keanggunan yang sekarang dibalut keangkuhan.

"Kisahku bersama Zidan belum berakhir."
Balasnya yakin.

"Apa yang akan kau lakukan,"
Sedikit kegelisahan hinggap dihatiku.

"Melanjutkan kisahku,"
Dia menjeda kata-katanya. Mata itu kembali menusuk pandanganku, berusaha membuatku gentar karenanya.

"Aku sangat mencintainya, Nabil."

Suara Indria bergetar, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.

"A.. ak.. aku.. tapi kamu bukan jodoh mas Zidan Indria, mas Zidan tidak mungkin kamu miliki lagi."

Mentalku sedikit ibah melihatnya menangis seperti ini.

"Hanya sebuah kesalahan yang tidak aku perbuat, lalu cintaku layu sebelum mekar. Aku mencintainya, sudah lama aku mencintainya."

Indria menangkup wajahnya lalu pundaknya bergetar pelan.

"Semua orang punya jalan kebahagiaannya sendiri, Indria. Aku harap kamu bisa mengikhlaskan mas Zidan bersamaku, demi anakku."

Kembali kudengar rintihan wanita ini yang mulai berubah menjadi senggukan kecil.

"Bagaimana jika kamu yang mengikhlaskan Zidan untukku."

Indria dengan cepat menghapus air matanya secara kasar. Dia sekarang menangkup tanganku yang terletak di atas meja.

"Itu tidak mungkin,"
Aku menarik tanganku dari genggamannya.

"Atau kamu berbagi denganku, Nabil."

Mendengar kata berbagi membuatku meremas ujung kemejaku. Aku nggak mungkin melakukan itu. Bagaimana nasip hatiku dan anakku nanti.

"Aku nggak bisa. Coba pikirkan hatiku juga Indria, kita sesama wanita."

Indria mengulas senyum sinisnya.

"Coba pikirkan perasaanku juga,"

Setelah mengucapkan itu dengan lirih dia langsung melenggang keluar dari ruanganku tanpa pamit ataupun menunjukkan senyum hangat pertemanan kita.

Setelah pintu tertutup aku hanya bisa menumpahkan segala air mata yang sedari tadi aku tahan dipelupuk mata. Cobaan apa lagi yang dibawa masa lalu untuk menguji rumah tanggaku dengan mas Zidan.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang