komandan kapten Zidan

2.2K 162 0
                                    

بجا نبك فقط اشعر با تني امتلك كل شيىٔ

Hanya berada disampinmu aku merasa memiliki segalanya.

Hari kedua melanjutkan berbagai tes masuk kedinasan. Kali ini petugas tambahan tak terlalu sibuk seperti kemarin. Dikarenakan rangkaian tes sudah selesai pukul 10.00 semua petugas medis bisa rehat lebih awal. Dan kembali kerumah sakit lebih cepat.

"Nabila," panggilan suara bariton yang berasal dari arah belakang membuatku menghentikan langkahku yang mau keluar ruangan.

Aku menoleh melihat seorang yang beberapa hari lalu aku coba hindari, bukan karena benci, hanya saja aku membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.

"La, bisa bicara sebentar?"

Kak Zidan, lelaki itu semakin mendekat kearahku.

Panggilan La membuatku dan kak Zidan menjadi pusat perhatian semua orang diruangan ini. Mungkin karena kak Zidan yang terkenal tegas dan hambel kesemua orang, termasuk wanita. Dan mungkin juga karena kami terlihat lebih akrab.

Aku mengangguk singkat. "Kita keluar sebentar," ucapnya memberitahuku.

Langkah kami terhenti disebuah bangku taman yang terletak disebelah lapangan upacara.

"Bagaimana kabarmu?"
Pandangan lelaki itu menoleh kearahku. Melihat senyum kecilku, lalu ikut tersenyum.

"Baik kak, seperti yang terlihat," jawabku seadanya.

"Kenapa kemarin nggak nemuin aku dulu sebelum kembali kerja?"
Dia bertanya, tapi kesannya seperti sedang mengintrogasi seorang teroris.

"Kemarin Aku lagi terburu-buru kak"
Alibi ku, dia mengangguk singkat tanpa senyuman, apa dia percaya padaku.

"Izin. kepada Komandan kapten Zidan. Saya memberi laporan dari komandan mayor"
Seorang prajurit bintara adik tingkat dari kak Zidan menghampiri kami.

Prajurit itu tetap berdiri dengan sikap sempurna lalu menurunkan tangannya yang tadi memberi hormat.

"Hehehe, kau lucu sekali la"
kak Zidan mengejekku karena tadi aku kaget dengan suara lantang yang datang tiba-tiba itu.

Aku memutar mata. "Kak Zidan..." Merengut kesal. Siapa pula yang tidak kaget, kaku amat nih orang.

"Laporan apa?" Tanya kak Zidan tak kalah tegas. Biasa aja sih, emang dari dulu juga tuh muka menyeramkan.

"Siap, laporan cuti anda kapten"
Bintara itu memberikan sebuah amplop coklat lalu kembali memberi hormat.

"Cuti?"
Tanyaku pelan, kak Zidan malah cuman tersenyum singkat tanpa niat memberitahuku.

"Kak, tolong perintahkan dia buat tetap sikap siap dong"
pikiran jahilku mulai muncul untuk menjahili seseorang yang membuatku kaget tadi.

Kak Zidan mengerutkan keningnya, tapi aku memasang mata memohon.

"Baiklah, kamu tetap berdiri disini dan siaaaaap gerak!"
Instruksi kak Zidan membuat seorang Bintara itu segera berdiri seperti patung.

Aku melangkah mendekatinya lalu menyentuh sudut bibirnya dengan kedua jari telunjukku, setelah itu kutarik kedua sudut bibirnya agar tersenyum. Bintara itu tetap berdiri kaku tanpa protes.

"Senyum dong. Jangan buat saya kaget lagi ya," ucapku sambil tersenyum manis lalu pergi menjauh dari mereka.

Kak Zidan melotot melihat tindakanku yang ajaib. Hatinya panas melihat Bintara itu tersenyum malu dan terpesona karena ku.

"Siapa yang suruh kamu tersenyum. Cepat pergi dari sini,"
Geram kak Zidan membuat Bintara itu langsung kincep dan pergi dari hadapannya.

Kak Zidan menyusul langkahku yang hampir menuju pos keluar area bhumi marinir ini.

"Hahahaha, cemburu?" Tawaku meledak, menggoda kak Zidan yang bersungut-sungut disampingku.

"Nggak mungkin lah," tukasnya cepat.

Sangat terlihat jika dia sedang menyembunyikan sesuatu, karena jawaban cepat hanya dilontarkan ketika kita dalam keadaan terdesak.

"Loh, dokter Nabil kenal sama kapten Zidan."
Seorang gadis berbaret ungu itu berdiri diantara kami yang tepat berada didepan pos pintu masuk. Dia terlihat bingung, matanya seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Iya, Maria. Baru kenal kok,"
Jawabku sedikit menutupi fakta, agar gadis tangguh didepanku ini tetap merasa nyaman jika bertemu denganku.

"Oh, kapten bisa kita bicara sebentar,"

Pandangan Maria teralihkan kearah kak Zidan. Mereka saling memandang dengan tatapan teduh, namun Maria seakan memuja pria didepannya itu.

"Maaf Maria, saya ingin mengantarkan dokter Nabila kembali kerumah sakitnya,"

Tolak kak Zidan sambil mengusap ubun-ubun gadis itu pelan. Ah aku lupa jika dia ramah sama semua orang, dan bukan hanya aku yang mengaguminya.

"Katanya baru kenal, kok nganterin dokter Nabil segala."

Maria sedikit merenggut kesal, kali ini mereka terlihat sangat akrab tanpa bahasa formal yang selalu diawali dengan kata siap, izin, lapor.

"Saya sudah mengenalnya dari dulu, dia teman saya dari desa. Lagi pula saya sedang tidak ada tugas," jawabnya enteng.

Maria terlihat kaget dengan kenyataan itu. Gadis cantik itu menurunkan bahunya malas, seakan harapannya hancur.

"Kak Zidan nggak perlu repot-repot, saya bisa kembali sendiri kok. Siapa tahu Maria tadi mau bicara penting kan"

Aku mencoba untuk mengembalikan suasana seperti semula tapi diluar dugaan, kak Zidan malah tak menghiraukan Maria dengan berkata.

"Nanti ya Maria. ayo La, saya juga ingin bicara Penting sama kamu."
Kak Zidan langsung menarik tanganku menjauh dari tempat itu.

"Kak...? , La...?."

Lirih Maria menebak-nebak melihat dua orang itu menjauh darinya. Dadanya sesak melihat pria yang digosipkan dekat dengannya ternyata dekat dengan orang yang baru Maria kenal.
_______⚓_______

Aku dan kak Zidan memasuki area taman rumah sakit. Langkahku terhenti melihat seorang lelaki memunggungi kami, dia membawa sebuah biola yang diapit diantara pundak dan dagunya, sedangkan tangannya mulai menggesek senar biola hingga menciptakan nada yang indah.

"Jangan kau tolak dan buatku hancur. Ku tak akan mengulang tuk meminta"

lirik lagu dari Yovie and Nuno itu mengalun indah ketika lelaki itu berbalik badan menunjukkan wajahnya.

"Danil," lirihku.

Kak Zidan menatapku datar. Keningnya berkerut seakan bertanya-tanya siapa pria didepannya ini, dan apa hubungannya dengan ku.

Danil menghentikan permainan biolanya lalu menatapku dengan senyum manisnya, kemudian dia memandang seorang lelaki berseragam loreng dengan baret ungu yang diselipkan dipundaknya yang berdiri disampingku.

Kedua lelaki itu saling bertatapan datar, tak ada yang mau memulai bicara, ataupun bertanya.

"Oh iya nil, kenalin ini kak Zidan. Dia tadi mengantarku kembali kesini"
Aku membuyarkan tatapan sengit mereka yang saling membisu.

Danil tersenyum kearahku lalu mengulurkan tangan kearah kak Zidan.

"Kenalin, Danil. Calon tunangannya dokter Nabila,"
Ucapnya percaya diri. Lengkap dengan senyum konyol yang dia punya.

"Komandan kapten Zidan. Calon suami dokter Nabila,"
Sarkas kak Zidan membalas uluran tangan Danil dengan wajah datar sedatar datarnya.

"Aku duluan ya, Nil, kak."
Tanpa mempedulikan mereka aku langsung menjauh menuju ruanganku. Malas jika harus menghadapi dua orang pria itu.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang