"Ayah ...!" Gadis remaja berparas ayu itu berlari seraya menangis tersedu, mengejar pria paruh baya yang berjalan cepat keluar dari rumah kecil berbilik kayu. Di depan sana, sudah ada sang ibu yang berjalan mengikuti ayahnya, sambil berusaha menahan agar tidak pernah meninggalkan rumah.
"Mas, jangan pergi ... Alana butuh kamu," pinta Nia.
Pria paruh baya itu berhenti, kemudian berbalik menatap sinis dua perempuan yang selama ini telah melewati suka duka bersamanya.
Alana menyeka air mata di pipi lalu tersenyum lebar, berharap sang ayah mengurungkan niat untuk pergi meninggalkan rumah. Ia tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi padanya dan sang ibu, jika harus ditinggalkan oleh sosok pahlawan dalam hidupnya.
"Ayah ... jangan pergi ...," rengeknya, sambil memegang telapak tangan Handoko.
Namun, hati pria itu seakan sudah menjadi beku, hingga tak sedikitpun merasa simpati akan kesedihan putri semata wayangnya. Ia justru menepis tangan mungil Alana lalu beralih menatap istri yang menangis tersedu, terus memohon agar dirinya tetap tinggal.
"Jangan pergi, Mas," lirih Nia.
"Cukup! Aku udah muak hidup miskin dan nggak punya apa-apa, ditambah lagi istri nggak berguna kaya kamu!"
Hati Nia berdesir perih, jantungnya seakan berhenti berdetak, air mata pun tak lagi mampu dibendung hingga luruh membasahi wajah cantiknya. Sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya, jika sang suami akan menyebutnya sebagai wanita tak berguna.
"Ayah ... jangan pergi! Lana janji nggak akan nakal lagi, akan rajin belajar, dan jadi anak baik demi Ayah! Tapi Ayah jangan pergi. Ayah ...!"
Wanita paruh baya itu memeluk tubuh mungil Alana, yang terus menangis seraya memanggil ayahnya. Hatinya semakin terasa perih bagaikan disayat belati tajam, saat melihat langkah sang suami semakin jauh meninggalkannya. Dan mungkin tak akan pernah kembali lagi.
"Ayah ...!"
Alana terbangun dari mimpi buruknya, dengan bermandikan keringat dingin di sekujur tubuh. Ia meletakkan telapak tangan di dada yang terasa sesak, hatinya kembali bedesir perih, saat kenangan buruk tentang kepergian sang ayah kembali datang dalam ingatannya.
Ayah ... tolong peluk putri kecilmu ini. Karena sejujurnya, aku sangat rapuh dan hancur saat melihatmu menjadi orang asing.
Ketukan pintu dari luar kamar, membuat gadis itu segera beranjak lalu mengusap peluh yang membasahi wajah. Ia menghela napas panjang berkali-kali, hingga benar-benar kembali normal barulah membuka pintu, seraya mengembangkan senyum manis ke arah sang ibu.
"Sayang, kamu nggak papa?" tanya Nia.
"Nggak papa, Bu. Emangnya, ada apa?" Alana balik bertanya.
"Tadi, ibu nggak sengaja denger teriakan dari dalam kamar kamu. Ibu kira ... kamu kenapa-kenapa, tapi syukurlah kalau kamu baik-baik aja." Wanita paruh baya itu menarik kedua sudut bibirnya, menampakkan senyum lebar bak bulan sabit. "Ya udah, sekarang kamu mandi. Setelah itu, kita makan malam," ujarnya, dan berlalu pergi.
Alana menatap sendu punggung sang ibu, sampai benar-benar menghilang dari pandangannya.
Ibuku, adalah bidadari tak bersayap yang menjelma menjadi panglima berkuda untuk menggantikan posisi Ayah. Itulah sebabnya, aku sangat bahagia dan bangga karena terlahir dari rahim wanita tangguh sepertinya.
•••
Tamparan keras mendarat di pipi Tari, menimbulkan rasa panas dan bekas warna merah pada kulit putihnya. Ia tersenyum sinis lalu menatap tajam wajah pak Handoko, orang yang sudah menamparnya di depan sang ibu dan kakak laki-lakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]
RomanceMantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetapi harus berakhir dengan perpisahan. Disaat itulah seseorang mulai mengubur dalam-dalam semua kenangan indah yang pernah dilewati bersama pas...