Halo ... apa kabar?Semoga sehat dan bahagia selalu ya 😁
Jangan bosen nunggu, dan baca cerita ini yak.
[Jangan lupa vote, komentar, dan krisannya]
Happy reading ....
•••
"Maaf, Pak, saya terlambat," ujar Alana dengan napas tersengal-sengal, seraya menyeka keringat yang mengucur di dahinya.
Bagaimana tidak, setelah begadang semalaman karena menjadi teman curhat Silvi, ia juga harus menunggu ponselnya yang dicharger untuk memastikan apakah benda itu rusak atau tidak. Untungnya, masih bisa digunakan walau layarnya sedikit retak. Dan yang paling menyebalkan adalah, dia terlambat datang ke kantor, karena sahabat laknatnya itu pergi begitu saja tanpa membangunkannya. Sedangkan sang ibu tengah berada di luar kota, untuk menghadiri acara pernikahan salah satu kerabatnya.
Tak hanya sampai di situ, tetapi dirinya juga harus berlari menaiki tangga hingga kakinya terasa sakit, karena tidak mau mengantri untuk naik ke dalam lift. Meskipun hanya sampai lantai tiga, dan memilih mengantri dengan rekan kerja yang lain. Ah ... pagi yang melelahkan.
"Kerjakan berkas-berkas ini."
Pria tampan berjas hitam itu menyodorkan beberapa berkas di atas meja. Netra tajamnya menatap Alana dingin, sama seperti saat dulu gadis itu terlambat masuk kantor. Bedanya, kali ini auranya semakin mencekam dan menakutkan.
"B-baik, Pak." Alana segera mengambil berkasnya, kemudian berjalan menuju meja kerjanya sebelum Devano mengomelinya seperti yang sudah-sudah.
"Tunggu!"
Langkah gadis itu langsung terhenti saat mendengar perintah Devano, dengan jantung yang semakin berdebar kencang. Takut jika pria itu akan marah dan menghukumnya, tanpa mempedulikan alasan di balik keterlambatannya bekerja. Jika saja punya ilmu menghilangkan diri, maka dia pasti akan segera menggunakannya untuk menghindari sang bos.
Sejenak menghela napas panjang, guna menetralisir rasa gugup lalu memutar tubuh secara perlahan. Tak lupa, ia juga menunjukkan senyum semanis mungkin pada bosnya.
"Iya, ada apa, Pak?" tanyanya, berusaha untuk tetap tenang.
"Sudah sarapan?"
Alana melotot. "Hah?!"
"Kamu sudah sarapan?"
Devano kembali mengulangi pertanyaannya, masih dengan ekpresi datar dan dingin yang membuat siapapun enggan beradu pandang dengannya. Takut.
"Be-belum, Pak," jawab Alana jujur.
Ya, dia memang belum sarapan, karena terburu-buru berangkat ke kantor tadi.
"Sarapan dulu, saya tidak mau kamu sakit."
"Hah?!"
"Maksudnya, saya tidak mau kamu sakit. Itu akan menyusahkan!" sahut Devano cepat, seolah dia paham apa yang ada di benak sekretarisnya itu.
Namun, memang benar apa yang Alana pikirkan. Ia tidak mau gadis itu sakit, karena akan membuatnya tidak tenang. Khawatir.
"Tapi, pekerjaan say--"
"Sarapan, atau saya hukum?" potong Devano.
Gadis itu menghela napas berat, lalu memutar bola matanya malas. Menatap jengah pria yang duduk di kursi kebesarannya. Sungguh, sikap Devano saat di kantor dan di rumah benar-benar berbeda. Seperti langit dan bumi. Bahkan saat ini rambutnya sudah kembali seperti semula, warna hitam legam, tertata rapi. Beruntung kemarin ia sempat mengabadikan momen bersama di ponsel milik pria itu, karena sang bos mengatakan jika kamera ponselnya tidak cerah dan akan terlihat jelek. Mengesalkan, tetapi ia menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]
RomanceMantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetapi harus berakhir dengan perpisahan. Disaat itulah seseorang mulai mengubur dalam-dalam semua kenangan indah yang pernah dilewati bersama pas...