Kemarahan Kiano

27K 2.2K 366
                                    

"Dengarkan, atau jangan minta penjelasan sama sekali." -Alana Paramitha-

_____

Setelah mengurus surat-surat untuk kepulangan Alana, Kiano langsung berjalan menuju ruang rawat. Menghampiri gadis yang sudah menunggu di samping brankar dan tak lagi mengenakan seragam pasien itu. Ya, Alana sudah berganti pakaian yang dibawakan oleh bu Nia tadi siang.

"Sorry lama." Mengambil tas yang ada di atas brankar, tanpa menoleh pada Alana. Kemudian berjalan keluar dari dalam ruangan lebih dulu, yang langsung diikuti oleh gadis itu.

"Iya, nggak papa kok."

Langkah Kiano yang terlalu cepat, membuat Alana harus berlari kecil agar bisa mensejajarkan diri dengannya. Setelah sampai di parkiran, pria itu langsung membuka pintu mobil depan, bagian kiri.

"Masuk," titahnya, masih dengan raut wajah datar dan dingin. Tak ada guratan senyum yang biasanya ia tunjukkan pada Alana.

"I-iya." Gadis itu langsung menurut, meski ada kebingungan yang terlihat dari sorot matanya. Ya, dia tidak tahu kenapa sikap Kiano tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin, seperti awal pertemuan mereka. Ralat, bahkan saat awal bertemu, pria itu tidak sedikitpun menatap ke arahnya. "Kamu ke-napa?" Memberanikan diri untuk bertanya, saat Kiano sudah duduk di kursi kemudi.

Hening. Pria itu hanya diam, seraya mendekatkan tubuhnya pada Alana. Sekilas menatap wajah cantik yang tampak terkejut itu, lalu memasangkan sabuk pengaman, dan kembali membenarkan posisi duduknya. Detik berikutnya, ia melajukan mobil sedan warna putih miliknya dengan kecepatan sedang memecah keramaian kota.

"Kian--"

"Murahan banget lo!"

Degh.

Seketika degup jantung Alana seakan berhenti, tepat saat Kiano memotong ucapannya dengan kata-kata yang menurutnya sangat tidak pantas diucapkan. Sakit? Sudah jelas. Hatinya berdesir perih, bagai tersayat belati tajam. Ia tidak menyangka, jika pria yang amat dicintainya akan mengatakan hal itu padanya, meski dalam mimpi sekalipun.

"Ki-ano, m-mak-sud ka-mu, a-pa?" tanyanya, menatap sendu wajah tampan Kiano yang tetap fokus menyetir.

"Devano punya mantan, namanya Alana. Selama ini nggak ada satu orang pun di antara keluarga, kerabat, atau teman-temannya yang tau gimana wajah cewek itu, kecuali Alice. Saat kemarin gue suruh dia buat ngejauhin lo, dia nggak mau! Apa Alana yang dimaksud sebagai mantannya Devano itu, lo?" Kiano bertanya dengan pandangan fokus ke depan, tak mempedulikan rasa sakit dan takut yang kini menjalar ke seluruh tubuh kekasihnya.

"Ki-ano--"

"Jawab!" Lagi-lagi pria itu memotong ucapan Alana, bahkan sekarang intonasi suaranya sudah naik satu oktaf, membuat gadis itu semakin ketakutan.

"I-iya," jawab Alana jujur. "Tapi, sekarang aku sama Pak Dev nggak ada hubungan--"

"Otak lo ada di mana sih, hah? Jadi cewek kok bego banget!" Kiano melirik Alana sekilas, lalu kembali fokus menatap jalanan. "Yang namanya, man-tan pa-car, nggak mungkin bisa jadi temen atau partner kerja, Al. Apalagi, kalo diantara kalian ada yang masih nyimpen rasa suka. Pikir pake otak! Jangan cuma bisa nangis!"

Hening. Alana tak mampu menjawab ucapan Kiano. Bibirnya terasa begitu kelu, hingga tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Hatinya semakin berdesir perih, bersamaan dengan air sebening embun yang luruh membasahi pipi. Sungguh, ucapan pria itu bagai anak panah yang melesat tepat mengenai jantung, hingga membuat dadanya berdenyut nyeri. Bahkan ayah yang selama ini pergi meninggalkannya saja, tidak pernah berkata seperti itu. Ya, ini memang terasa sangat menyakitkan.

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang