Seketika tubuh Alana terdiam mematung, saat pintu lift terbuka dan mendapati Devano berdiri di dalam sana. Netranya menatap lekat wajah tampan milik pria itu, yang juga tengah menatap ke arahnya dengan datar. Namun, sedetik kemudian kepalanya menunduk, rasa bersalah kembali timbul di ulu hati tatkala melihat telapak tangan kanan pria itu dibalut perban.
Devano berjalan keluar dari dalam lift. sejenak menghentikan langkah lalu menyodorkan bungkusan plastik hitam berisi makanan ringan dan minuman di tangan kirinya, pada Alana. Sehingga membuat gadis itu gelagapan memegangnya.
"Maaf," ujarnya, kemudian berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya.
Alana menatap lekat plastik hitam yang ada dalam pelukannya. Ia mengembuskan napas panjang, tak tahu harus berbuat apa untuk meminta maaf pada Devano. Dengan cepat memutar tubuh kebelakang lalu berjalan menyusul pria itu.
Entah mengapa, ia merasakan getaran aneh yang tiba-tiba muncul di dalam hati. Namun, dirinya segera menyimpulkan bahwa getaran di hatinya timbul akibat rasa bersalah pada pria itu.
Di dalam ruangan, gadis itu menghentikan langkah tepat di depan meja kerja Devano. Berkali-kali menghela napas panjang, mengumpulkan berjuta keberanian untuk meminta maaf pada pria yang kini tengah duduk di di hadapannya dengan tatapan fokus pada berkas-berkas di meja.
"Pak Dev," lirihnya pelan, tetapi Devano masih bisa mendengarnya.
"Hm."
"Maaf, karena saya sudah membuat Bapak marah dan terluka," ujar Alana, penuh penyesalan.
Devano yang sedari tadi fokus membaca berkas-berkas, mendongak menatap gadis yang berdiri di hadapannya seraya menundukkan kepala. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah itu, mengembangkan senyum tipis di bibirnya. Senyuman yang mampu meluluhlantakkan hati para wanita, tetapi baru-baru ini hanya Alana saja yang dapat melihatnya.
"Saya yang seharusnya minta maaf, karena hampir melukai dan membuat kamu menangis ketakutan. Harusnya, dalam keadaan semarah apapun, saya tidak boleh melakukan kekerasan terhadap perempuan."
Pernyataan pria itu, membuat jantung Alana berdegup kencang. Rasa bersalah pun semakin dalam menusuk ke ulu hati hingga membuatnya ingin menangis tersedu, dan mengungkapkan kekaguman pada Devano. Namun, ia berusaha menahannya karena takut salah bicara yang justru akan kembali menimbulkan kemarahan dalam diri CEO muda itu.
"Maaf, Pak--"
"Cukup. Jangan meminta maaf lagi, atau saya akan semakin merasa bersalah nanti."
Alana mengangguk cepat. "Mulai sekarang, saya akan berusaha keras untuk tidak menyatukan urusan pribadi dan pekerjaan."
Devano mengembuskan napas kasar lalu menatap lekat wajah gadis yang berdiri di depannya. "Apa kamu sangat takut padaku?"
Alana menggelengkan kepala. "Tidak, Pak."
Justru aku kagum. Iya, aku akui kalo aku kagum sama sikap kamu yang dewasa. Padahal, jelas-jelas tadi pagi aku yang salah karena membahas hal-hal yang sama sekali nggak ada hubungannya sama pekerjaan, tapi sekarang malah kamu yang minta maaf.
Pria itu berdecak pelan. Sekilas menatap wajah Alana, yang selalu menyematkan senyum manis di bibir mungilnya. Kemudian menundukkan kepala, karena jika semakin lama ia menatap wajah polos gadis itu, maka penyesalan akan muncul di dalam hatinya.
Sampai detik ini Devano terus merutuki kebodohannya sendiri, akibat tak mampu mengendalikan diri ketika sedang emosi. Sehingga hampir membuat Alana terluka dan menangis ketakutan, karena ulahnya.
Menghela napas panjang. "Maafkan saya." Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Ke-kenapa, Pak Dev--"
"Seribu kali saya meminta maaf sama kamu, itu tidak akan cukup, Alana. Apa yang sudah saya lakukan terhadap kamu, adalah hal yang salah." Devano memotong ucapan Alana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]
RomanceMantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetapi harus berakhir dengan perpisahan. Disaat itulah seseorang mulai mengubur dalam-dalam semua kenangan indah yang pernah dilewati bersama pas...