Setelah pintu lift terbuka, Silvi melangkah keluar menuju ruang kerja Devano. Namun, saat baru saja membuka pintu, bola matanya langsung membulat sempurna melihat pemandangan romantis bak drama Korea yang sedang tersuguh di hadapannya.
Ia segera mengangkat ponsel di tangannya lalu mengabadikan momen romantis Alana dan Devano, kemudian segera bersembunyi kala gadis itu berlari keluar dari dalam ruangan dan masuk ke dalam lift.
Netranya menatap pintu lift dengan tajam dan menusuk, sembari mendengus kesal.
"Apa-apaan ini?!" gerutunya bermonolog, lalu mengalihkan pandangan pada layar gawainya yang menampilkan potret romantis Alana dan Devano. Ia menghela napas panjang, kemudian mengembangkan senyum lebar di bibir mungilnya.
'Ck, kenapa mereka harus putus sih? Padahal, romantis banget loh ... andai aja, dulu aku udah kenal sama Alana dan Pak Dev, pasti aku bakalan nyuruh Alana nyari tahu kebenarannya dulu sebelum putus!'
Entah mengapa, ia merasakan desiran perih di hatinya saat melihat kedekatan Alana dan Devano. Tidak, bukan karena cemburu tetapi dirinya sangat menyayangkan sikap sang sahabat yang memutuskan hubungan dengan CEO muda itu dalam keadaan marah. Padahal, ia dapat melihat bahwa keduanya sangatlah serasi di matanya.
Namun, apalah daya ... toh semua itu sudah terjadi kan? Begitu pikirnya.
'Mereka yang putus, tapi aku yang kecewa. Hiks.'
Daripada pusing memikirkan tentang hubungan Alana dan Devano yang sudah kandas, Silvi memilih mengetuk pintu ruang kerja CEO muda itu untuk mengumpulkan berkas yang sudah selesai dikerjakan.
"Masuk," titah Devano, dari dalam sana.
Gadis itu membuka pintu secara perlahan lalu melangkah masuk menghampiri Devano, dan berhenti tepat di depan meja kerjanya.
"Permisi, Pak, saya mau mengumpulkan berkas ini," ujarnya.
"Taruh di sini." Devano mengetuk meja menggunakan jari telunjuk tangan kirinya, mengisyaratkan agar Silvi menaruh berkas di atas meja. Sedangkan netranya tetap fokus pada layar laptop.
"Baik, Pak."
Gadis itu meletakkan berkas di atas meja. Cukup lama ia diam di tempat. Netranya menatap lekat wajah tampan milik Devano, guna mencari tahu bagaimana perasaan pria itu setelah pipinya dicium oleh Alana. Namun, sedetik kemudian dirinya malah fokus pada telapak tangan kanan Devano yang dibalut perban.
'Argh! Jiwa-jiwa kepoku memberontak.'
Saat ini Silvi tengah berada di ambang kebingungan, antara memutuskan untuk bertanya atau tidak. Pasalnya, jika sedikit saja salah bicara maka taruhannya adalah kena semprot oleh CEO muda itu.
Devano mengembuskan napas lalu mendongakkan kepala, menatap datar gadis yang berdiri di hadapannya. Ia merasa risih karena sedari tadi Silvi terus memperhatikannya, meski tak seheboh Alana yang selalu terang-terangan mengganggunya saat tengah sibuk berkutat dengan pekerjaan.
Namun, sepertinya gadis itu masih terhanyut dalam lamunan hingga tak menyadari jika Devano sudah memberikan tatapan tajam ke arahnya.
'Nanya? Nggak? Nanya? Nggak? Nanya? Ngga--'
"Silvi!"
"Eh kodok!" Seketika itu pula, Silvi langsung menutup mulut dengan telapak tangan karena kata-kata khasnya saat terkejut tiba-tiba keluar. Lebih malunya lagi, ia latah di depan bos yang super dingin, tegas, dan tak pernah menampakkan senyum di bibirnya. "M-ma-af, Pak," ujarnya terbata.
"Apa kamu masih memerlukan sesuatu?" tanya Devano.
Gadis itu tersenyum kikuk, sambil menggelengkan kepala. "T-tidak, pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]
RomansaMantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetapi harus berakhir dengan perpisahan. Disaat itulah seseorang mulai mengubur dalam-dalam semua kenangan indah yang pernah dilewati bersama pas...