Pertengkaran

36.2K 2.6K 139
                                    

Seorang karyawan wanita langsung berjalan menghampiri Devano dan Alana yang baru saja keluar dari dalam lift, hingga membuat langkah keduanya terhenti. Ia segera menundukkan kepala sopan lalu menatap wajah tampan milik Devano yang terlihat dingin, dan datar.

"M-ma-af, Pak, di da-lam ada Nona Tari," ujarnya terbata.

Devano mengembuskan napas kasar, seraya mengepalkan tangan dengan kuat. Rahangnya menegang. Matanya menyorot tajam ruang kerjanya yang tertutup rapat. Terlihat sekali kemarahan di wajah tampan, yang biasanya selalu menunjukkan ekspresi datar itu.

Menakutkan. Itulah yang dirasakan oleh Alana dan karyawan wanita yang sedari tadi berdiri di hadapan CEO muda itu.

"Siapa yang mengizinkannya masuk?" tanya Devano.

"S-saya sudah beru-sa-ha me-larangnya, Pak, t-tapi Nona Tari ber-sikeras untuk te-tap ma-suk dan me-nunggu Bapak di da-lam."

"Ck." Devano berdecak kesal, lalu berjalan melewati karyawannya menuju ruang kerjanya.

Sedangkan Alana, masih terdiam mematung di tempatnya. Kemudian ia tersenyum ramah, pada karyawan wanita yang terlihat gemetar dengan wajah pucat pasi. Ia tahu jika wanita itu pasti takut melihat kemarahan Devano, meski pria itu tak mengatakan hal-hal yang menyakitkan.

Entahlah, aura ketampanan yang ada dalam diri Devano mampu membuat kaum Hawa berdecak kagum, dan tak bisa berpaling. Terpesona. Namun, saat sedang marah tak ada wanita yang berani mendekatinya, meski sekedar untuk menatap wajah tampan itu. Terlalu menakutkan.

"Mbk Alana ... gimana ini? Saya takut Pak Dev, akan marah."

"Kamu tenang aja, ya. Pak Dev nggak mungkin marahin kamu kok, 'kan Tari yang kekeuh mau masuk ke dalam ruang kerjanya. Lagi pula, kamu juga udah berusaha melarang dia." Alana tersenyum lebar, sambil mengusap lembut lengan wanita yang berdiri di hadapannya. "Kalo gitu, aku masuk dulu ya," lanjutnya.

Wanita itu tersenyum sembari mengangguk pelan. "Terima kasih, Mbk Alana."

"Kenapa harus berterima kasih? Sesama karyawan itu harus saling membantu dan menyemangati, oke?"

"Oke, Mbak."

Alana mengembangkan senyum lebar di bibir mungilnya, lalu melangkah pergi meninggalkan wanita itu seorang diri. Setidaknya, ia bisa menyusul Devano dalam keadaan tenang, karena sudah berhasil menetralisir rasa takut yang ada dalam diri rekan kerjanya.

Dia paham betul bagaimana menakutkannya Devano saat sedang marah, bahkan singa pun mungkin akan lari ketakutan melihat kemarahan CEO muda itu.

Baru saja sampai di ambang pintu, suasana di dalam ruang kerja Devano sudah sangat tegang dan mencekam. Alana seakan merasakan aura hitam yang mengelilingi pria itu, meski wajahnya tampak biasa saja dengan tangan kiri di masukkan ke dalam saku celana. Cool.

Sementara Tari berdiri tepat di hadapan CEO muda itu, seraya menunjukkan senyum termanis di bibirnya.

Alana menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan, sampai rasa gugupnya benar-benar hilang. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan, dan berhenti tepat di samping Devano.

"Dev, aku ke sini karena khawatir sama kamu. Aku tau kalo tangan kamu terluka, dan pasti sangat sulit untuk ngerjain sesuatu ataupun masak di rumah. Jadi, aku bawain sarapan buat kamu. Terus, aku juga pengen bantuin kamu ngerjain tugas." Tari meletakkan rantang berisi makanan di atas meja kerja Devano, lalu kembali menatap wajah tampan pria yang selama ini bernaung di hatinya.

Ia mengembangkan senyum semanis mungkin. Tak mau usahanya untuk meluluhkan hati Devano, kembali gagal.

Pria itu mengembuskan napas lalu bergumam pelan, "Dasar penguntit!"

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang