Gara-gara Terlambat

69.3K 4.6K 173
                                    

Sang surya mulai menampakkan diri dari ufuk timur. Cahayanya menjadi penanda bahwa malam sudah berganti pagi, membawa secercah harapan serta semangat baru untuk seluruh makhluk yang ada di bumi.

Setelah joging, Devano masuk ke dalam kamar lalu membuka tirai berwarna putih yang menutupi jendela. Ia menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis, seraya menikmati keindahan alam serta kilauan sinar mentari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar bernuansa abu-abu itu.

Suasana kamar pun terlihat sangat tenang dan nyaman, dengan barang-barang tertata rapi dan beberapa bingkai berisi potret dirinya yang terpajang di dinding.

CEO muda itu tinggal seorang diri di rumah berlantai dua dengan dominasi warna putih dan biru, serta taman bunga warna-warni dan kolam air mancur yang ada di halaman. Tak hanya itu, di bagian belakang rumahnya terdapat kolam renang serta pepohonan rindang yang menambah kesan indah nan asri.

Sedangkan kedua orang tua Devano, tinggal bersama Rasya Dwi Saputra—adiknya yang sudah menikah sejak empat tahun lalu.

Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi, Devano menatap datar pantulan dirinya di depan cermin. Penampilannya sudah terlihat sangat rapi, ia mengenakan kemeja putih dipadu jas biru serta dasi warna senada. Dan seperti biasa, kedua telapak tangan selalu dimasukkan ke dalam saku celana hingga menambah kesan dingin dan tegas dalam dirinya.

Pria itu mengembuskan napas kasar, saat mendengar ketukan pintu dari luar kamar, membuat pendengarannya sedikit terusik. Ia berjalan mendekat ke arah pintu, kemudian membukanya secara perlahan.

"Maaf, Den Vano, tadi waktu mamang mau ngambil barang-barang di bagasi mobil, nggak sengaja nemuin boneka ini," ujar Asep—supir pribadi Devano.

Devano mengerutkan dahi, melihat boneka doraemon berukuran besar yang berada di pelukan Asep. Ia sama sekali tidak pernah merasa membeli, atau menerima benda tersebut.

"Buang aja, Mang," jawabnya datar. Dan berlalu melewati Asep.

Asep mengerutkan dahi. "Ini serius mau dibuang, Den?"

Hening. Pria itu terus berjalan menuju ruang makan, tak menghiraukan pertanyaan supirnya.

Asep mengedikkan bahu, kemudian berjalan ke luar rumah.

"Den Vano mah kebiasaan pisan, selalu cuek sama semua orang," gumamnya pelan.

•••

Di sisi lain, dering alarm sudah berbunyi dari tadi. Namun, tidak mampu membuat Alana terbangun dari tidur lelapnya karena ada bantal yang menutupi telinganya.

Gadis itu terus berguling ke samping kanan dan kiri, mulai terusik oleh sinar matahari yang menyilaukan mata.

"Mmh," lenguhnya, seraya meregangkan otot-otot tubuh dan membuka mata secara perlahan. Ia tersenyum manis lalu meraih jam weker yang ada di nakas, seketika bola matanya membulat sempurna saat melihat jarum jam menunjukkan pukul 08.00 pagi. "Argh! Mati aku!"

Alana melemparkan jam kesembarang arah lalu berlari menuju kamar mandi, dengan cepat ia membasuh wajah dan menyikat gigi. Kemudian berlari mendekati lemari, memakai baju asal-asalan.

Setelah itu, meraih tas yang ada di meja lalu segera keluar dari dalam kamar. Ia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, kemudian menghampiri sang ibu yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.

"Ibu ... kenapa nggak bangunin Lana, sih?" tanyanya.

"Kalo ibu terus yang bangunin kamu, gunanya kamu beli jam weker tu buat apa?" Bu Nia balik bertanya.

"Ck, ya buat bangunin Lana, Bu ...."

"Ya udah, berarti kamunya aja yang nggak disiplin. Makanya, jam segini baru bangun."

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang