"Alana ... lo baik-baik aja, 'kan? Mana yang sakit? Kok bisa jadi kaya gini, sih? Kenapa lo nggak hati-hati? Siapa yang tega ngelukain tangan lo? Bilang, sama gue, Na, bilang! Biar gue hajar mereka!"
Desi langsung memberondong banyak pertanyaan, yang membuat Alana kebingungan harus menjawab yang mana dulu. Padahal, ia baru saja datang menjenguk sahabatnya itu. Sontak, apa yang ia lakukan membuat Alana, Silvi, dan Sela menggelengkan kepala heran, karena sikap Desi yang begitu over protektif terhadap teman-temannya.
Namun, mereka tahu jika semua itu adalah bentuk kepedulian Desi terhadap orang yang disayanginya. Jadi, ketiganya sudah terbiasa akan sikap Desi yang cenderung lebih posesif terhadap apapun yang terjadi pada mereka, terutama Alana.
"Des, kalo nanya itu satu-satu, biar Alana gampang jawabnya," ujar Silvi.
"Iya, Des. Kalo nanya itu harus di rem, biar nggak maju ... terus. Bisa-bisa lo nabrak, loh." Sela menimpali.
"Ck, gue itu khawatir sama Alana. Jadi, otak gue nggak bisa berpikir jernih," balas Desi.
"Berarti otak lo kotor, Des," celetuk Sela, langsung disambut gelak tawa oleh Alana dan Silvi.
Desi mendengus kesal, lalu menyilangkan kedua tangan di dada. Bagaimana bisa, disaat serius seperti ini, ketiga sahabatnya justru masih sempat bercanda. Padahal, ia sangat khawatir pada kondisi Alana. Takut, jika gadis itu sampai kenapa-kenapa.
"Kok malah ngeledek, sih!" cetusnya.
"Loh, tadi katanya nggak bisa berpikir jernih. Itu artinya, otak lo butek atau kotor, dong ...." Sela menyahutinya diiringi gelak tawa.
"Serah lu pada, lah!" Desi cemberut.
"Ih, Desi, jangan ngambek ... nanti cepet tua, loh. Emang kamu mau dipanggil nenek?" celetuk Alana, sambil meraih telapak tangan Desi yang berdiri tepat di samping kanan brankar. Ya, selain posesif, sahabatnya yang satu ini juga sangat mudah marah dalam hal-hal kecil. Istilah gaulnya, adalah baperan.
"Gimana keadaan lo?!" Desi mengalihkan pembicaraan, meski dengan nada ketus, karena masih kesal pada ketiga sahabatnya.
Alana tersenyum lebar. "Udah mendingan kok. Nanti sore juga udah pulang ke rumah."
"Kemarin gue kaget banget, Al, waktu tau kalo lo terluka, sampe harus dirawat di rumah sakit," sahut Sela.
"Sebenarnya, nggak terlalu parah kok. Kamarin aku pingsan gara-gara liat darah plus kaget, doang. Hehe." Alana menjelaskan diiringi kekehan kecil, guna mencairkan suasana yang mulai terasa tegang. "Lagian, ini cuma kecelakaan kecil doang, kok," tambahnya untuk mengurangi rasa khawatir yang terlihat di wajah ketiga sahabatnya.
"Kecelakaan kecil? Gue yakin, ini semua itu terjadi gara-gara lo deket sama Devano, Al. Lo kan tau sendiri kalo dia itu cowok berengsek!" hardik Desi.
"Ini semua salah aku, Des. Soalnya aku nggak liat kanan-kiri, jadinya harus luka kaya gini deh. Lagian, tuduhan kita selama ini itu salah, karena Pak Dev nggak pernah selingkuh sama siapa pun. Itu artinya, dia adalah cowok yang baik, Des."
Alana mencoba menjelaskan bahwa Devano tidak seperti apa yang selama ini dipikirkan oleh mereka semua.
Dan semua yang terjadi padanya, tidak ada sangkut pautnya dengan pria itu. Itu murni kecelakaan, dan mungkin saja pria yang melukainya adalah begal atau pencopet."Nggak selingkuh? Terus waktu itu ngapain dia di sana? Belajar!" Desi menghela napas sembari memutar bola matanya malas. "Emangnya kemarin dia peduli sama lo? Terus dia udah jenguk lo, belum? Kalo belum, berarti dia itu brengsek, Al. Breng-sek." Menekan kata terakhir yang diucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]
RomansaMantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetapi harus berakhir dengan perpisahan. Disaat itulah seseorang mulai mengubur dalam-dalam semua kenangan indah yang pernah dilewati bersama pas...