Berpisah, lagi?

19.5K 1.5K 239
                                    


Selamat malam ... apa kabar?
Semoga baik dan bahagia selalu ya. Hihi

Masih inget sama cerita ini, nggak? Maaf ya up-nya lama. 🙏🤧

Tapi tenang, part ini puanjang ... banget kok. Semoga puas ya🤗

Happy reading ....

•••

Sudah hampir satu minggu Alana siuman, kondisinya pun kian membaik, walau belum sepenuhnya pulih hingga masih berada di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.

Padahal, jika boleh memilih, ia ingin segera pulang ke rumah, sudah sangat merindukan suasana kamar yang paling nyaman untuk rebahan, seraya menonton drama favorit. Ditambah lagi, saat ini pria yang tampak sangat tampan dengan mengenakan kemeja garis-garis hitam-putih, dipadu celana bahan hitam serta jam warna senada itu, meminta izin untuk pergi ke luar kota. Tentu saja hal ini semakin membuatnya tidak betah berlama-lama di rumah sakit. Suntuk.

"Emang harus banget pergi, ya, Mas? Nggak bisa diwakilin aja, hm?"

Mendongak, dia memperlihatkan ekspresi paling melas dengan mata berkaca-kaca, hidung kembang-kempis, serta bibir bergetar seolah tengah menahan tangis. Tangannya terulur melingkar di pinggang pria yang tengah berdiri di sisi kiri brankar. Memeluk erat, guna menahan sang kekasih agar tidak pergi.

Meski mendapatkan usapan lembut di puncak kepala, tetap saja tidak dapat menghilangkan rasa sedih di hatinya. Sungguh, ia tidak ingin berpisah dengan sang kekasih.

Tersenyum tipis, Devano mengelus akar rambut Alana seraya menggeleng, lalu berkata, "Nggak bisa, Sayang ... nggak papa, ya, mas tinggal sebentar?"

Menggeleng cepat, gadis bersurai panjang itu semakin membenamkan wajah di perut Devano sambil mengeratkan pelukannya. Entahlah, setelah semua yang terjadi, ia jadi takut saat hendak ditingal pergi. Sikap sang ayah yang mendadak berubah ketika kembali bertemu dengannya, selalu berhasil membuat batin menjerit pilu walau bibir selalu menerbitkan senyum terbaik. Ia tidak mau calon suami mendadak berubah menjadi sangat asing, sebagaimana yang telah dilakukan ayahnya. Itu menyakitkan. Sungguh.

Menghela napas, Devano tersenyum tipis hingga lesung di pipinya nampak jelas, membuat wajah tampan yang dikagumi oleh kaum Hawa itu terlihat semakin manis. Mengulurkan tangan, ia menangkup pipi Alana agar mau bersitatap dengannya.

"Hey, dengerin mas, ya, cinta aja nggak akan cukup buat bahagiain kamu, Sayang ... apalagi, calon istri mas yang manis ini suka jajan," tuturnya lembut, sambil menyeka air mata calon istri menggunakan ibu jari.

Alana mendengkus dengan bibir mencebik, lalu kembali menenggelamkan wajah pada tubuh Devano yang nyaman sekali dipeluk. Berusaha menutupi rona merah yang pasti timbul di pipi, karena ucapan pria itu sukses membuat hati berbunga-bunga. Dan sekarang, bibir yang semula cemberut tak kuasa untuk tidak melengkung membentuk senyum manis, tatkala merasakan usapan lembut pada punggung. Sang kekasih pasti berusaha menenangkannya, padahal hal itu justru semakin menambah kegugupan dalam diri. Salah tingkah.

"Ya udah, Mas, boleh pergi." Bergumam pelan, tanpa menatap lawan bicara. Terlalu nyaman berada di pelukan hangat pujaan hati.

"Beneran?" tanya Devano memastikan.

"Hm. Tapi pas pulang, harus bawain seblak kering," sahut Alana, disambut kekehan kecil oleh lawan bicaranya. Pasangan yang menggemaskan sekali.

"Oke siap." CEO muda itu balas mendekap tubuh mungil Alana, dengan senyum yang senantiasa menghiasi wajah.

"Udah, ya, peluknya, kasian Gavin nunggu di mobil dari tadi," ujarnya lembut.

"Nanti, lima menit lagi ...," rengek Alana, semakin mengeratkan pelukannya. Menghirup aroma vanilla yang melekat pada tubuh Devano, membuatnya selalu merasa tenang dan damai.

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang