Akhir

47.1K 1.8K 348
                                    

"Halo, Ri, ada apa?" tanya Alana dengan tangan kiri menempelkan ponsel di telinga, menanti jawaban dari saudara yang baru saja menelepon.

Senyum secerah mentari terbit menghiasi wajah, tatkala melihat pantulan diri pada cermin kamar. Pagi ini, ia mengenakan daster berwarna ungu dengan motif polkadot hitam-putih, serta bandana hitam sebagai pemanis surai panjangnya.

"Al, ntar lo jadi nginep, kan? Harus jadi pokonya! Gue butuh lo disaat-saat kek gini ...," rengek Tari mendramatisir keadaan.

Tertawa kecil, wanita bertubuh mungil berisi itu geleng-geleng kepala, tak menyangka bahwa perempuan yang terlihat selalu berani dan tegas, ternyata bisa gugup saat hari yang begitu istimewa akan terjadi dalam waktu dekat.

"Cie ... yang besok mau nikah sama Mas Pacar. Kalo Mas Dev mau ya," celetuknya jail.

Berjalan keluar kamar, ia mendudukkan diri di sofa ruang tengah dengan hati-hati, seraya mengusap perut yang sudah tampak besar.

"Pokonya gue nggak mau tau, lo harus nginep di sini! Kalo Devano nggak mau, gue bakal jewer kupingnya!"

Dengar, kan? Baru digoda seperti itu saja, Tari sudah mencak-mencak seperti cacing kepanasan. Padahal, biasanya akan tetap menampilkan sifat tak peduli, dan tenang menghadapi apa yang akan terjadi. Lucu sekali.

"Jewer aja kalo berani," tantang Alana dengan nada santai, lalu menyandarkan tubuh agar merasa lebih nyaman.

"Ish, Al ... marahin dia aja gue butuh kekuatan, apalagi jewer? Mungkin gue harus berguru sama lo dulu, kan lo pawangnya," sahut Tari.

Seperti biasa, ia selalu berbicara dengan nada tinggi, seolah sedang emosi. Padahal, memang penampilan dan cara bicara saja yang tampak arogan, sampai-sampai dianggap jahat oleh sebagian orang yang baru melihatnya. Mengesalkan, tetapi waktunya terlalu berharga untuk menjelaskan.

Wanita berparas jelita itu terkekeh geli. "Maaf, tapi aku nggak menerima murid. Karena cuma aku yang boleh jewer Mas Dev."

Terdengar helaan napas berat dari seseorang di ujung sana. "Iyain aja lah, biar cepet!"

"Emang iya kok."

"Aduh ... sumpah ya, Al, pokonya ntar lo harus nginep di sini ...! Sekarang gue deg-degan banget. Takut diunboxing!"

Sungguh, Alana tidak bisa menahan tawa mendengar ada kekhawatiran dalam nada bicara saudaranya. "Aku pernah di posisi itu. Hahaha."

"Sakit nggak, Al?" tanya Tari semakin penasaran sekaligus gelisah.

Seketika wanita itu terbatuk, tersedak salivanya sendiri, dibarengi rona merah yang menyeruak di pipi. Tersipu saat mengingat malam pertama pernikahannya dengan suami satu tahun lalu. Saat itu, rasa gugup, takut, gelisah, dan bahagia bercampur jadi satu, hingga jantung berdebar lebih kencang, disertai tubuh berkeringat dingin.

Bahkan, sampai berniat untuk berpura-pura tidur akibat terlalu gerogi, tetapi rencana itu gagal karena Devano sudah mewanti-wanti agar dia tidak melakukan ide yang mungkin terbesit di kepala sebagian kaum Hawa ini. Dan yang lebih menyebalkan adalah, suami masih tampak sangat tenang di dalam kamar yang sudah dihias dengan bunga, serta cahaya temaram dari lilin aromaterapi, padalah dirinya hampir tidak bisa bernapas. Berdebar-debar.

Namun, ketenangan Devano malam itu, entah mengapa mampu memberikan rasa nyaman, hingga ia semakin hanyut dalam sentuhan lembut penuh kasih sayang dan cinta yang begitu menghangatkan hati. Setelah itu, mereka benar-benar resmi menjadi pasangan yang sesungguhnya.

"Hey, Al! Jawab ih. Malah diem!" sentak Tari, membuat lawan bicara tersadar dari lamunan.

Alana berdehem pelan sebelum menjawab, "Ya gitu."

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang