Tangisan pilu

27.6K 2.1K 323
                                    

"Kak Dev, tungguin dong ...!"

Gavin terus mengejar Devano keluar dari rumah sakit, tetapi kakaknya tidak mau berhenti ataupun mengurangi kecepatan langkahnya. Sehingga dia harus berlari kecil agar bisa mensejajarkan langkah dengan CEO muda itu. Menyebalkan memang, kalau bersepupu dengan pria dingin dan galak seperti Devano, tetapi meski begitu dia sangat menyayangi kakaknya untuk selamanya.

Devano menghentikan langkah secara tiba-tiba, hingga membuat Gavin ikut berhenti dan menatapnya bingung. Senyum tipis terukir di bibir, saat melihat seorang wanita paruh baya berjalan di pelataran rumah sakit.

"Loh, Nak Dev, apa kabar ...?"

Pria itu langsung meraih telapak tangan kanan wanita paruh baya yang kini berada di hadapannya, lalu mencium punggung tangannya penuh hormat. Detik berikutnya, ia kembali membenarkan posisi seperti semula, dan tak menghiraukan Gavin yang sedari tadi menatapnya penuh kebingungan.

"Alhamdulillah, baik. Bagaimana dengan, Ibu?"

"Alhamdulillah, kabar ibu juga baik. Udah lama ya, kita nggak ketemu," ujar bu Nia diiringi kekehan kecil.

"Iya, Bu. Kurang lebih sekitar lima tahun."

Gavin menatap Devano dan bu Nia secara bergantian, masih tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh mereka. Sehingga menimbulkan begitu banyak pertanyaan di benaknya. Siapa wanita itu? Apa hubungan mereka? Sejak kapan mereka saling mengenal? Apakah selama ini, Devano menyukai wanita yang lebih tua darinya? Atau ... mereka berdua adalah mantan kekasih?

"Astagfirullah, otak gue terlalu jauh kalo disuruh mikir." Memukul kepalanya sendiri, agar pemikiran tak masuk akal itu menjauh dari otak kosongnya. "Ibu ini siapa, Kak Dev?" Ia memberanikan diri untuk bertanya.

"Oh, beliau adalah orang tuanya Alana," jawab Devano.

Gavin terbelalak. Kemudian langsung tersenyum sembari menyalami bu Nia. "Perkenalkan, Tante, nama saya Gavin. Adiknya Kak Devano." Mengecup punggung tangan kanannya penuh hormat. Kemudian kembali membenarkan posisi seperti semula.

"Ganteng ya, sama kaya Nak Devano," puji bu Nia diiringi senyum lebar.

"Iya, Tante. Saya emang ganteng, tapi saya lebih humoris dari Kak Dev. Dia mah dingin dan serem, kaya beruang di Kutub Utara," canda Gavin, yang langsung membuat bu Nia terkekeh geli. Sedangkan Devano hanya diam, dan tetap menunjukkan ekspresi datarnya.

"Oh iya, Alana beneran anaknya, Tante?" Pria jangkung itu kembali bertanya, yang langsung disambut anggukan oleh bu Nia. "Ya ampun ... tapi kenapa beda banget, ya? Tante cantiknya Masya Allah, kaya bidadari turun dari kahyangan. Tapi, Alana bantet banget kaya tu ... aw, Kak Dev!"

Ya, inilah pertama kalinya Devano memukul kepala Gavin dari belakang, hingga membuat adik sepupunya itu meringis kesakitan. Tak apa, yang penting perusuh seperti Gavin tidak sembarang bicara di depan orang yang lebih tua. Begitu pikirnya.

"Nak Dev, kenapa Gavin dipukul?" Bu Nia bertanya, dengan raut wajah tampak syok.

Gavin membenarkan posisi seperti semula, lalu menatap tajam ke arah Devano yang tiba-tiba memukulnya. Bisa hancur harga dirinya sebagai Playboy sekaligus raja jalanan, jika ada seseorang yang melihatnya barusan. Menyebalkan.

"Kak Dev emang selalu kaya gini Tante, main tangan terus. Saya selalu tersakiti, hiks." Memegang dadanya sembari menatap sendu sang kakak, untuk mendramatisir keadaan. Entahlah, di mana saja ia berada, pasti akan ada kejadian tak terduga. Seolah-olah, dirinya dan Alana memang tidak bisa terpisahkan, karena sama-sama memiliki sikap konyol dan terkesan ceplas-ceplos saat bicara.

"Ku menangis ... membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku ... kau duakan cinta ini, kau pergi bersamanya." Gavin bernyanyi dengan suara cemprengnya, hingga membuat orang-orang yang berlalu lalang di pelataran melirik ke arahnya. Bodoh memang, dia tidak mau dipermalukan oleh Devano, tetapi malah mempermalukan diri sendiri.

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang