Kiano tersenyum sinis. "Kenapa? Lo juga sayang sama Alana?"
"IYA!"
Air sebening embun langsung luruh tanpa izin, mengalir deras membasahi pipi gadis bersurai pendek itu. Hatinya terasa begitu nyeri bagai diremas dengan kuat, membuat dadanya ikut terasa sesak. Ya, ini salahnya yang selalu bersikap dingin pada Gavin, hingga membuat pria itu berpindah ke lain hati.
Namun, kenapa harus Alana? Ia tidak akan sanggup jika harus melihat kemesraan sahabat dan pria yang dicintainya, suatu hari nanti. Terlalu menyakitkan.
Kiano tersenyum sinis, seraya melepaskan tangan Gavin yang mencengkram kerah jaketnya. "Munafik!" sentaknya, sambil melayangkan bogem mentah tepat mengenai rahang sang sahabat, hingga tersungkur ke lantai.
Alih-alih merasa sakit, Gavin malah terkekeh. Yang semakin membuat Kiano geram, karena sikap anehnya.
"Disaat gue relain Silvi buat lo, kenapa lo malah suka sana Alana?! Penghianat!"
Akibat amarah yang semakin meletup, Kiano kembali melayangkan pukulan dengan tenaga penuh.
"Akh!"
Gavin terbelalak. Menatap nanar gadis yang tersungkur ke lantai, karena menjadi tameng untuknya dari bogeman Kiano. Perlahan sorot matanya berubah setajam elang, napasnya memburu, rahang mengeras, gigi bergemeletuk, serta tangan terkepal kuat saat melihat darah segar mengalir dari hidung Silvi.
"BANGSAT!" teriaknya keras.
Bangkit berdiri, menerjang tubuh Kiano hingga terjungkal kebelakang. Setelah itu, melayangkan pukulan tanpa ampun pada pria itu. Tak peduli meski mereka bersahabat, tetapi perbuatan Kiano sudah sangat keterlaluan. Bahkan, kali ini ia tidak memberikan lawannya kesempatan untuk membalas.
Ya, serangannya kali ini lebih brutal, dibandingkan saat ia mengetahui fakta bahwa Alana hanya dijadikan pelampiasan saja oleh pria tidak tahu diri itu. Erangan kesakitan yang keluar dari mulut Kiano, tak membuat nuraninya tersentuh. Justru seringai iblis lah, yang menghiasi wajah tampan nan dingin itu.
"MATI AJA LO, BANGSAT! KENAPA LO MUKUL SILVI, HAH? GUE EMANG SAYANG SAMA ALANA, TAPI BUKAN CINTA! GUE UDAH ANGGEP DIA KAYA ADEK GUE SENDIRI! PAHAM LO?!"
Gavin berdiri tegap, dengan napas masih memburu akibat amarah yang masih tebal dalam diri. Menatap tajam pria yang sudah tak berdaya di hadapannya.
Sebenarnya, dia bukanlah pria yang kejam, tetapi jika sudah menyangkut tentang orang-orang yang disayangi sikapnya akan berubah seperti hewan buas.
"Ucapin selamat tinggal sama tangan lo, karena sebentar lagi tangan yang udah lancang mukul cewek yang gue cintain, bakalan remuk. Sshhh," ujarnya santai, diakhiri ringisan mengejek.
Ya, katakan saja bahwa dia memang bucin, lebay, alay, atau apapun itu. Yang jelas jika sudah menyangkut tentang pujaan hatinya, maka sahabat pun akan dianggap musuh yang harus diberi pelajaran.
"V-vin," gagap Kiano, berusaha bergerak menjauh saat sahabatnya mulai mengangkat kaki kanan hendak menginjak lengannya. "Vin, gue sahabat lo!"
"TAPI SILVI CEWEK YANG GUE CINTA! DAN GUE NGGAK SUKA SIAPAPUN NYAKITIN DIA, APALAGI BAJINGAN KAYA LO!" sahut Gavin.
"Gila lo, Vin!" Kiano masih berusaha beringsut menjauh dari pria tidak waras di depannya.
"Gavin, stop ...!"
Kiano menghela napas lega, kala Silvi memeluk Gavin erat hingga tidak jadi meremukkan lengannya.
"Lepas," titah Gavin dingin.
Silvi menggeleng. "Nggak mau! Aku nggak mau lepasin kamu!"
Jujur, sebenarnya dia takut menghadapi sikap Gavin yang berbeda dari biasanya ini, tetapi juga tidak mungkin membiarkan dua sekawan itu saling melukai. Dan entah mengapa, hatinya berdesir hangat saat mengetahui bahwa dirinya masih menjadi gadis beruntung, karena dicintai oleh seorang Gavin Resya Mardani. Pria berwajah tampan, yang memiliki sikap humoris dan manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]
RomanceMantan. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk seseorang yang pernah mengisi kekosongan relung hati kita, tetapi harus berakhir dengan perpisahan. Disaat itulah seseorang mulai mengubur dalam-dalam semua kenangan indah yang pernah dilewati bersama pas...