Aku, kamu, dan dia

30K 2.2K 165
                                    

"Jika ucapan tak mampu membuatmu percaya, maka tataplah matanya. Dari sana kau bisa melihat apakah dia jujur, atau sebaliknya." -Alice Reska Oktariana-

______

Devano berjalan memasuki salah satu toko sepatu yang ada di dalam mall. Lima pelayan langsung berjalan mengikuti langkahnya dari belakang, tetapi ia tidak peduli dan tetap fokus memilih berbagai macam model sepatu yang tertata rapi di rak masing-masing.

Tak hanya pelayan toko, pengunjung wanita yang tadi fokus memilih sepatu pun langsung beralih menatap CEO muda itu. Mungkin mereka semua terpesona akan aura ketampanan dan sikap dingin, yang terpancar dari wajahnya.

Salah satu keuntungan menjadi pria tampan adalah, bisa memilih wanita manapun yang diinginkan. Namun, hal itu juga tidak bisa menjamin kebahagiaan di masa depan, karena jika hanya memandang fisik saja, maka cinta itu akan memudar seiring bertambahnya usia.

Mungkin saat ini kaum Hawa sangat tergila-gila dan berebut untuk memenangkan hati Devano, tetapi suatu hari nanti hanya satu wanita saja yang akan menjadi bidadari di hatinya. Wanita yang mencintainya dengan tulus, tanpa memandang fisik, harta, dan pekerjaan. Karena semua itu sewaktu-waktu bisa berubah, bahkan tanpa disadari.

Setelah beberapa menit berjalan mengelilingi rak sepatu, pilihannya jatuh pada sneakers warna abu-abu putih, berukuran tiga puluh sembilan.

"Saya mau yang ini, Mbak," ujarnya datar.

"Untuk pacarnya ya, Mas?"

Salah satu pelayan mengambil sepatu yang dipilih oleh Devano. Memasukkannya ke dalam tote bag, sambil menunggu jawaban dari CEO muda itu. Penasaran. Tak hanya dirinya, tetapi semua gadis yang ada di dalam toko ikut merapat agar bisa mendengar jawaban Devano.

Mereka berharap pria itu masih sendiri, meskipun mungkin sedikit mustahil karena dia memilih sepatu untuk wanita.

"Hm."

Seketika bola mata mereka membulat sempurna, bersamaan dengan hembusan napas berat. Hanya dengan deheman saja, Devano sudah mematahkan banyak hati. Padahal, entah itu jawabannya 'Iya' atau 'tidak', hanya pria itu yang tahu.

Para wanita yang tadi mengerumuninya kembali sibuk dengan urusan masing-masing, meski dada masih terasa sesak.

Patah hati sebelum saling mengenal, adalah hal yang sangat menyakitkan. Mereka hanya bisa menjerit dalam diam, karena orang yang dimaksud pasti tidak akan peduli. Sama sekali tidak.

"Ini, Mas." Tangan pelayan itu terulur, memberikan tote bag dan uang kembalian pada Devano. "Kalo udah putus, jangan lupa ke sini lagi ya, Mas. Soalnya, masih banyak cewek yang ngantri, termasuk saya," godanya, sambil mengedipkan sebelah mata.

Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukannya, dan berlalu pergi begitu saja.

Setelah membeli apa yang ia perlukan, Devano kembali masuk ke dalam mobil. Memerintahkan Asep untuk kembali melajukan mobilnya, menuju perusahaan RM Group.

__

Semua karyawan menundukkan kepala sopan, saat Devano turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam gedung RM Group.

"Kak De ... eh salah, maksudnya, Pak Dev!" Gavin melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Devano yang tengah berdiri di depan pintu lift. "Bapak dari mana?" tanyanya.

"Luar," jawab Devano singkat.

"Maksud say--"

"Lanjutkan pekerjaan kamu." Devano memotong ucapan Gavin, kemudian masuk ke dalam lift. Meninggalkan sang adik seorang diri, dengan kekesalan yang tampak di wajah tampan Gavin.

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang