Harus kuat!

22.8K 1.9K 348
                                    

"Devinisi sakit tapi tak berdarah bagi seorang anak adalah, saat melihat orang tuanya lebih menyayangi orang lain." -Alana Paramitha-

__________

Dengan tegar, Alana menarik kursi kosong di depan pak Handoko lalu mendudukinya, walaupun sayatan demi sayatan semakin dalam melukai hati. Rasa sakit dan perih pun bercampur jadi satu, membuat dadanya berdenyut nyeri. Tak hanya itu, keringat dingin mulai mengucur membasahi dahi, serta telapak tangan yang gemetar di bawah meja.

Jujur saja, ia sangat camburu dan ingin berada di posisi Tari, agar bisa dekat dengan ayahnya. Bercanda, tertawa, melewati suka-duka bersama-sama, dan saling menyayangi satu sama lain.

"Pak Dev, apa kita bisa mulai meetingnya sekarang?" tanya pak Handoko.

"Tentu," jawab Devano singkat.

Alana dan Tari mulai menjelaskan visi-misi tentang kerjasama antara perusahaan masing-masing, yang sudah disiapkan sebelumnya. Tak hanya itu, mereka tampak sangat profesional dan berpengalaman saat menjelaskan, seolah tidak terjadi apa-apa diantara keduanya.

Mungkin, pak Handoko sudah mengingatkan putrinya agar besikap profesional, kala membahas masalah pekerjaan dengan Devano. Pasalnya, CEO muda itu sangat membenci siapapun yang menyatukan urusan pribadi dan pekerjaan.

Setelah hampir dua jam. Akhirnya, meeting selesai diakhiri dengan berjabat tangan, pertanda hubungan kerjasama antara perusahaan sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

"Pak Dev, Nona Alana, bisakah kita berbicara sebentar sebelum Bapak kembali ke kantor?"

Devano dan Alana yang semula hendak pergi pun, kembali duduk di kursi setelah mendengar pertanyaan pak Handoko.

"Terima kasih." Pria paruh baya itu tersenyum lebar, menatap dua sejoli yang duduk di hadapannya secara bergantian. "Bulan depan, putra sulung saya akan bertunangan. Saya harap, Pak Dev dan Nona Alana berkenan untuk menghadiri pesta yang akan saya gelar," ujarnya, memperlihatkan raut wajah penuh permohonan. Terutama pada Devano.

"Saya akan berusaha untuk hadir," jawab Devano.

"Oh iya, Alana, jangan lupa ajak ibu dan ayah kamu ya." Tari menatap Alana sinis, diiringi seringai mengejek. Ia tahu bahwa kelemahan gadis itu adalah sang ayah, jadi sangat mudah untuk mengalahkannya.

Sejenak, Alana menghela napas panjang lalu mengangkat sudut bibirnya. Berusaha untuk tetap tenang dan tersenyum, meski di bawah meja jemarinya meremas kuat squishy berbentuk Doraemon itu. Sungguh, Tari benar-benar tahu kelemahan terbesarnya, hingga membuat dada semakin berdenyut nyeri.

Namun, kali ini ia akan membuat saudara tirinya menelan pahitnya kekecewaan, karena tidak menerima apa yang diinginkan. Ya, Alana tidak mau terus ditindas atau terlihat lemah di hadapan orang lain, terutama yang membencinya. Jadi, mulai sekarang dirinya akan berusaha menahan air mata dan rasa sakit seorang diri.

"Mbak Tari, jika Anda ingin kedua orang tua saya hadir. Anda bisa langsung mengundangnya ke rumah."

Jawabannya, sukses membuat mimik wajah Tari seketika berubah menjadi merah padam menahan amarah. Tak apa, sesekali gadis itu memang harus dilawan.

"Kenapa, aku harus dateng ke rumah kamu?" tanya Tari.

"Ck, setidaknya Anda harus berkenalan dengan orang tua saya, 'kan? Apakah Anda akan datang, jika orang tidak dikenal tiba-tiba mengundang Anda untuk menghadiri sebuah acara?" Alana balik bertanya.

"Ya, nggak lah! Ngapain harus dateng? Orang nggak kenal kok," sahut Tari.

"Nah, itulah sebabnya saya menyuruh Anda untuk berkenalan dengan orang tua saya."

Jadi Sekretaris Mantan [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang