"Hai anak Bunda yang cantik," sapa Iren–ibunda Syakila, ketika sang anak baru menginjakkan kakinya di depan rumah.
Wanita yang diyakini berumur sekitar 30-an itu mengangkat tangan kanannya menerima perlakuan putrinya untuk mencium punggung tangannya.
"Bunda seneng banget kayaknya." Syakila melepas tasnya dan meletakkannya di sofa, diikuti Iren yang duduk di samping Syakila yang berdiri.
"Sini," ujar Iren menepuk sofa–menyuruh putrinya untuk duduk.
Syakila merebahkan tubuhnya di sofa dengan kepala berada di paha Iren. Gadis itu memejamkan mata, tangannya memeluk perut Iren–mencari kenyamanan di perut sang Bunda.
"Dengerin Bunda ngomong, Kil," Iren mengelus rambut Syakila yang tiduran di pahanya.
Syakila menggerakkan kepalanya mengangguk. Ia semakin erat memeluk Iren–menenggelamkan wajahnya di perut sang Bunda, yang membuat Iren merasa geli. Sudah menjadi kebiasaan Syakila jika sedang bersama sang ibu.
"Ayah dapat proyek di luar negeri," ujar Iren yang membuat Syakila melepas pelukannya. Syakila mengerutkan kening–menatap sang ibu dari bawah.
"Minggu depan kita bisa berangkat langsung," sambung Iren tersenyum lebar, Syakila mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah Iren.
"Kan, Kila udah kelas 12, Bun. Masa harus pindah? Tanggung lah, Bun."
"Kata siapa kita pindah?" tanya Iren yang membuat Syakila mengerutkan keningnya.
"Kan kita berangkatnya minggu depan. Otomatis Kila harus pindah sekolah kan, Bun?" tanya Syakila.
Senyum Iren semakin lebar. Hal itu membuat Syakila bertanya-tanya dalam hatinya. Iren pasti akan merencanakan sesuatu untuk Syakila–putri satu-satunya.
"Kata siapa pindah sekolah?" tanya Iren menampilkan senyum yang.....entahlah, Syakila tidak dapat mengartikan senyum sang Bunda sekarang.
"Kamu tetap sekolah di sini," ujar Iren mengalihkan pandangannya ke televisi yang ada di depan. "Yang Bunda maksud 'kita' itu, Ayah sama Bunda. Kamu tetap tinggal di sini," sambungnya lagi menatap sang putri.
Mata Syakila membola seketika. "Bun, Kila ditinggal dong?" rengeknya.
Iren mengangguk. "Maafin Bunda ya," ujarnya mendekati Syakila.
"Bunda nggak bisa bawa kamu. Proyek ini sangat berarti untuk Ayah kamu, Kil. Bukannya Bunda dan Ayah juga nggak pentingin kamu. Tapi, memang proyek ini tidak bisa di tinggalkan. Ayahmu sangat membutuhkan ini, Kil," jelas Iren mengelus rambut Syakila.
"Bun, masa Kila tinggal sendirian di sini?"
"Ya mau gimana lagi, sayang? Bunda nggak bisa ajak Kila kan?"
Tidak. Syakila tidak bisa jauh dari bundanya. Dengan siapa dirinya tinggal nanti?
"Bun..." Syakila memeluk erat Iren. Ia menenggelamkan wajahnya di dada sang Bunda. Baju Iren tampak basah, dapat diartikan, Syakila menangis kali ini.
"Sebagai permintaan maaf, Bunda sudah siapkan kejutan untukmu," ujar Iren melepas pelukan dan menyeka air mata Syakila yang turun membasahi pipi.
****
~Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Teen Fiction‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...