75. HARI SPESIAL YANG BURUK

2.5K 105 0
                                    

Halka meringis ngilu, hatinya begitu sesak kala melihat beberapa alat medis yang terpasang di tubuh sang istri. Lelaki yang akan menjadi calon ayah itu meraih sebelah tangan Syakila yang diinfus--menggenggamnya sebentar lalu mengecup punggung tangan perempuannya.

Sakit. Itulah yang dirasakan Halka sekarang. Asya-nya terbaring lemah dan tak kunjung membuka mata. Belahan hatinya sedang berjuang melawan rasa sakitnya.

Dengan gejolak yang bergemuruh dalam dada, Halka melakukan kembali rutinitasnya--mengajak istrinya berbicara seperti yang selalu dilakukannya tiga hari belakangan ini.

Ya, istri Halka itu belum juga sadar sampai saat ini setelah kejadian penusukan tiga hari lalu. Luka tusukan di bagian perut sang istri yang cukup dalam membuat Syakila harus mengalami masa kritis dan koma. Beruntung tusukan itu tak mengenai kantung janin yang ada di dalam perut sang istri sehingga calon anaknya masih bisa terselamatkan, meskipun saat ini kandungan Syakila lemah.

Mengingat kembali kejadian tempo hari lalu, Halka mengetatkan rahangnya kuat. Demi apapun, Halka bersumpah akan membalas perbuatan orang yang telah menyakiti istri tercintanya. Tak peduli jika orang itu bergender perempuan.

"Sya, kapan kamu mau bangun?" lirih Halka dengan suara parau.

"Sayang, ayo buka mata kamu. Kamu nggak mau lihat kejutan aku?"

"Hari ini kamu ulang tahun, Sya. Aku udah persiapkan semuanya. Ayo bangun, aku ada kejutan."

"Sya, please..."

Suara Halka tercekat--semakin lirih terdengar. Tidak. Kali ini tak ada sebulir pun cairan yang menetes ke pipi lelaki itu seperti sebelum-sebelumnya. Halka hanya menundukkan kepalanya menahan rasa yang teramat.

Rapuh. Halka begitu hancur mendapati istrinya yang tetap saja seperti ini. Hanya diam, Syakila belum juga ada tanda-tanda untuk membuka mata.

Cklek

"Halka."

Lelaki itu tak menghiraukan. Meskipun ia tahu yang datang siapa, Halka tetap pada posisi awalnya.

"Bang, lebih baik kamu pulang dulu. Biar mama yang gantian jaga Kila."

Yaps. Bukan perawat ataupun dokter. Yang baru saja masuk ruang Syakila adalah Sofi.

Ibu Halka itu mendekat lalu memegang pundak sang putra--memberi usapan lembut seolah menyalurkan kekuatan pada anaknya.

"Sudah sarapan?" tanya Sofi membuat Halka mengangkat kepalanya perlahan. Bukan menoleh pada sang mama, manik mata lelaki itu justru menatap sang istri dengan penuh luka.

"Mama tebak kamu belum sarapan. Gih pulang dulu."

Halka masih terdiam.

"Halka, dari kemarin kamu belum kemasukan makanan apapun lagi. Mama mohon, pulang dan rawat diri kamu juga."

Sofi menghela napas saat sang putra tak merespon ucapannya.

"Pulang dulu ya? Biar mama yang jaga istri kamu."

"Gimana bisa Halka pulang kalau keadaan Asya masih seperti ini, Ma? Halka akan tetap nungguin istri Halka di sini. Setidaknya Asya harus sadar dulu."

"Mama tahu." Sofi mengangguk paham. "Mama paham kalau kamu sangat khawatir sama Kila. Tapi jangan seperti ini juga, Halka. Kamu juga harus memikirkan kondisi kamu."

"Kondisi Asya lebih penting," sela Halka bernada dingin.

"Paham. Mama paham banget soal itu, Halka. Tapi kalau kamu juga seperti ini terus, kalau sakit gimana?"

HALSYA [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang