Syakila keluar dari kamar bersama Halka. Wajah gadis itu masih sembab, matanya juga sedikit membengkak karena menangis tadi. Padahal, belum ada beberapa jam Syakila menangis. Karena wajahnya yang putih, menangis lima menit pun pasti ketara.
"Kil.."
Iren menatap Syakila yang berjalan ke arahnya. Raut wajah anaknya itu datar, dan Iren dapat menyakini jika Syakila masih marah dan belum menerima keputusannya.
"Kil, Bunda minta maaf nggak ngasih tau—"
Ucapan Iren terhenti saat Syakila melewatinya begitu saja. Gadis itu berjalan ke arah sofa di depan tv. Bahkan, langkahnya yang semula di belakang Halka, kini mempercepat mendahului Halka tanpa menoleh sedikitpun ke arah Iren.
"Gimana Halka?" tanya Iren setengah berbisik sembari melirik Syakila yang sudah anteng di depan tv.
Halka mengangguk. "Udah, Bun. Mungkin, Asya nyoba untuk tenang dulu."
Iren mengerutkan keningnya bingung. "Asya?" beonya.
Halka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung harus menanggapi apa perkataan mertuanya.
"Panggilan kesayangan ya?" goda Iren tersenyum lebar.
Halka tak menjawab.
"Bagus banget. Asya, dari Asyakila. Ajib!" Iren mengangkat kedua jempolnya heboh.
Raut wajah Iren berubah seketika. Wanita itu kembali menatap sendu sang putri. "Bunda ngomong ke Kila gimana ya?"
Iren tau jika Syakila tidak benar-benar fokus pada tv. Mata putrinya memang tertuju melihat animasi Doraemon, tapi pikirannya tidak pada tv itu.
"Dicoba dulu, Bun," jawab Halka seadanya.
Iren mengangguk. "Tapi Bunda nggak tau harus darimana ngomongnya," ujarnya menatap Halka.
"Halka bantu bicara."
Iren kembali mengangguk. Wanita itu melangkahkan kakinya mendekati Syakila yang duduk di depan tv. Perlahan-lahan, Iren mendudukkan tubuhnya di samping Syakila.
Belum ada pergerakan dari sang putri. Entah memang belum sadar atau memang sengaja menghiraukan Bundanya. Intinya mata Syakila masih tertuju di tv. Ingat, hanya matanya saja.
"Asya.." Iren mengubah panggilannya seperti Halka. Berharap putrinya akan luluh dengan panggilan itu.
"Asyakila," panggil Iren lagi.
Nihil. Syakila sama sekali tidak menoleh. Ia benar-benar menghiraukan Bundanya.
"Sya." Kini Halka yang memanggil.
"Apa?" Tanpa menoleh, Syakila menjawab.
Iren tersenyum. Meskipun putrinya menjawab dengan ogah-ogahan, dan baru menjawab saat Halka yang memanggil, Iren tetap merasa lega. Artinya, Syakila memang masih bisa di bujuk lewat bantuan Halka–suami putrinya.
"Sama Bunda kok nggak jawab, Kil?" tanya Iren memasang wajah sedih.
Syakila langsung menoleh melihat sang Bunda. Namun dengan cepat, gadis itu mengalihkan pandangannya lagi ke depan, menatap tv dengan pandangan kosong.
Iren menghela napasnya berat. "Berarti kamu sekarang udah nggak sayang sama Bunda, Kil?"
"Nggak mau ngomong lagi sama Bunda? Buktinya Bunda di diemin dari tadi."
Syakila tertawa hambar, lalu memasang kembali raut wajah datar. "Bunda sendiri gimana?"
"Bunda kenapa nggak bilang kalo berangkatnya hari ini? Padahal Bunda udah tau sebelumnya kan? Kenapa Bunda nggak bilang ke Kila dari awal? Kenapa baru tadi pas sarapan Bunda?" gadis itu menahan agar tidak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Teen Fiction‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...