Beberapa tahun kemudian
"Kia! Jangan main hujan! Nanti demam!"
"Don't call me Kia! Panggil aku Kala! Ayo lebih cepat lagi, ibu! Hahaha."
Suara gelak tawa yang teredam oleh guyuran hujan deras di malam itu tak membuat seseorang berhenti bermain. Hazkia Kara Halasya, gadis kecil berusia tujuh tahunan itu semakin cekikikan kala wanita dewasa yang sedang mengejarnya sudah berjarak jauh dari dirinya. Itu artinya dia tak tertangkap, begitu pikirnya.
"Ayo! Ibu kulang cepat! Lali yang kencang, bu!" kata bocah yang memang cukup kesusahan mengucap kata berbaur huruf r itu.
"Kara! Masuk rumah nak, nona bisa demam!"
Seketika gadis kecil itu langsung berhenti. Tubuhnya dengan cepat berbalik dengan raut wajah yang sudah terlihat berbeda.
"Kara, maaf bibi--
"Ibu! Bukan bibi lagi! Dan aku ndak mau dipanggil nona!" rajuk Kara bersidekap namun malah terlihat menggemaskan di mata sang asisten rumah tangga itu.
"Papa udah pulang, Bu," kata gadis kecil itu pelan sembari menurunkan tangannya. Sorot matanya yang semula marah kini menjadi redup bergantikan dengan binar girang saat melihat sosok yang disebut Papa itu turun dari mobil sembari membuka payungnya.
Kara dengan semangat berniat memeluk papanya.
"Papa!"
"Kara! Eh, maksut saya nona. Biar papanya masuk dulu ya. Baju nona basah. Jadi nggak boleh peluk. Kita ganti baju dulu ya?" bujuk Ipah-- sang asisten-- pada Kara yang siap protes karena tangannya tiba-tiba ditahan.
"Maaf, tuan Halka. Saya permisi," tunduk Ipah lalu segera berlalu dari sana bersama Kara.
"Ibu, kan Kala pengen peluk papa dulu," dumel si kecil yang sedang digantikan pakaian oleh Ipah.
"Baju papa juga sedikit basah tadi. Jadi ndak papa kalau Kala peluk. Kan sama sama basah."
"Iya dong Bu? Iya dong? Ya iya dong?"
Kara yang cerewet membuat Ipah gemas. Sang asisten yang mengasuh putri Halka itu segera menggendong dan membawanya menuju kasur.
"Kara bobok. Udah malam. Besok sekolah kan?"
"Ibu, sekolah itu bial apa?" tanya Kara polos sembari menarik selimut yang diberikan Ipah sampai menutup kepalanya. Kemudian membuka dan menutupnya kembali.
"Ibu, ibu. Kok Kala itu cewek?"
"Telus cewek itu apaan?"
"Ibu apakah cewek?"
"Kalau papa apaan?"
"Ibu, Kala bisa jadi bayi lagi ndak?"
"Ibu---
"Suttt.. Kara tidur ya? Mau ibu nyanyi biar Kara cepat tidur?"
"Let's go ibu!" jawab gadis kecil itu seketika manut.
****
Esok harinya, Kara yang baru tiba dari sekolah melihat Halka berjalan menuruni tangga sembari memainkan ponsel. Sontak saja gadis kecil itu berlutut--menurunkan tasnya di lantai dan membuka resleting guna mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam sana.
Kara berlari menghampiri Halka di meja makan dan melupakan tasnya yang masih saja tergeletak.
"Papa! Lihat hasil Kala!" tunjuk gadis menggemaskan itu mengangkat lembar ujian dan lukisan di kedua tangannya.
Halka melirik sejenak, kemudian berdiri dan berlalu meninggalkan Kara yang langsung melunturkan senyumnya.
Ipah yang kebetulan sedang mencari Kara langsung menggendong anak gadis itu.
"Aduh, nona. Hilangnya cepat banget! Bibi kira masih di depan, eh malah udah masuk aja. Ayo kita ganti baju dulu, baru kita makan."
Kara kecil itu menyunggingkan senyum. "Kala sudah besar, Bu. Apa masih boleh digendong?" tanya bocah itu memasang wajah sok imutnya.
Ipah pun terkekeh geli. Kemudian menurunkan anak majikannya seolah mengerti kode dari gadis kecil itu.
"Kara mau tunjukkin hasil ujian bahasa Inggris sama gambar ke papa?" tanya Ipah hati-hati. Meski anak tuannya masih terlihat kecil, namun Kara adalah sosok bocah yang cukup cerdas dari usia seumurannya.
Kara, gadis kecil itu terkadang bisa memahami hal hal yang sudah menjadi bagian dari orang tua.
Kara dewasa melampaui anak seusianya.
"Sepeltinya ndak perlu, Bu. Kala akan simpan ini di kotak peti nanti."
****
Seorang laki-laki yang yang duduk terlelap itu semakin mengeratkan pegangan figura di dadanya. Halka, papa dari Kara itu sepertinya sedang kelelahan sampai-sampai tertidur saat menyelesaikan tugas kantornya.
"Apa mama secantik Kala?"
Bisikan sangat pelan keluar dari bibir mungil Kara. Diam-diam bocah menggemaskan itu memberanikan diri memasuki ruang kerja papanya.
"Huh! Apa mama secantik itu sampai papa menghilaukan Kala?" gerutu si kecil menghentakkan kakinya, lalu mendesis pelan saat sadar bahwa suara kakinya bisa membuat papanya terbangun.
"Ih, iya! Mama memang cantik. Apakah Kala kalah?"
Lontaran itu keluar setelah dia mengintip figura yang di dekap papanya-- meskipun sama sekali dia tak melihat gambar di sana karena gelapnya kamar. Hanya ada sinar dari laptop saja yang masih menyala.
"Cantikan mama atau Kala?" tanya gadis kecil itu lagi.
Kali ini dia mengambil pelan figura itu. Kara berusaha sangat hati-hati dalam bergerak. Seolah dia tahu jika nyenggol sedikit saja, papanya bisa terbangun dan pasti akan mengamuk padanya. Yang padahal dirinya juga tak pernah dimarahi. Hanya tak dianggap saja selalu.
"Sutt... Papa ndak boleh bangun ya. Nanti Kala ndak bisa lali cepat. Apa Kala harus jadi setan?"
Dag-dig-dug di hati namun mulut masih saja berceloteh. Itulah cara Kara meredam rasa tegangnya. Entah belum beruntung atau memang papanya terganggu akan gerakannya, Halka tiba-tiba saja membuka mata dan menegapkan badannya-- membuat bocah kecil itu seketika memekik kecil.
"Papa. Maafin Kala, pa. Kala mau lihat mama," lirihnya tertunduk.
Halka sontak menyorot dingin.
"Jangan pernah sentuh karena semuanya salah kamu!"
Kara spontan mendongak tak paham.
"Asya nggak ada semua karena kamu, anak sialan!"
****
BAR!
Cerita ini benar-benar sudah selesai.
Terima kasih untuk kalian yang sudah baca cerita HALSYA.
Cuma baca aja saya sudah sangat berterima kasih, apalagi sampai vote dan beri komentar. Intinya saya benar-benar berterima kasih pada kalian yang support cerita super nggak jelas ini.
Maaf karena cerita yang saya buat mungkin nggak sesuai dengan apa yang kalian kira-kira.
Untuk yang suka dengan happy ending bisa baca sampai : part 77 BERSAMA SELAMANYA.
Yang sukanya digantung baca aja EXTRA PART ini. HeheheSekali lagi terima kasih dan maaf banyak banyak.
Eits.. satu lagi ketinggalan,
Akan ada cerita baru nanti. So, kalau berminat, jangan bosen nunggunya ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Teen Fiction‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...