"Eh, bentar." Syakila menghentikan langkahnya membuat Karin dan Rara ikut berhenti dan berbalik menghadap gadis yang sudah bersuami itu.
"Uang gue di tas deh kayaknya. Kalian duluan aja. Gue mau ambil bentar," ujar Syakila menatap bergantian Rara dan Karin.
"Nggak usah." Karin menahan Syakila yang sudah berbalik. "Pakai uang gue aja."
Rara mengangguk. "Iya. Gue bayarin. Tapi uangnya Karin," nyengirnya melirik Karin.
Karin memutar bola matanya malas, sedangkan Syakila menggeleng. "Nggak. Gue mau ambil aja. Lo berdua duluan."
"Nggak usah, Kil. Gue yang traktir," ujar Karin menarik tangan Syakila melanjutkan langkahnya ke kantin.
Syakila melepas perlahan tangannya lalu menghentikan langkahnya. "Gue nggak suka dibayarin sama orang. Gue masih mampu dan gue bukan pengemis."
Sejenak, Karin tersentak dengan ucapan Syakila. "Kil, lo itu temen gue. Gue udah anggap lo sahabat. Kok lo ngomong gitu sih?"
Syakila menghela napas. "Sorry. Gue pakai uang gue sendiri. Kalian duluan aja."
****
"Ck! Mana sih?! Perasaan di tas ini ada tabungan juga kok!"
Syakila membongkar satu persatu barang-barang yang ada di tasnya. Seingatnya, uang tabungan yang diberikan Bundanya sebelum berangkat ke Amerika masih berada di tas dan gadis itu belum memindahkannya lagi. Iren selalu memberinya uang tiga bulan sekali, dan uang yang baru saja dikirim sebelum berangkat ke Amerika sama sekali belum Syakila gunakan.
Gadis dengan rambut hitam yang panjang itu menggerutu kesal saat apa yang dicarinya tak kunjung ditemukan juga.
"Masa habis sih?!" monolog gadis itu meletakkan tasnya dengan kasar di meja.
Syakila menatap langit-langit kelas. Sebelah tangannya berkacak pinggang, dan sebelahnya lagi menunjuk dagu. "Seminggu yang lalu, gue beli buku pakai uang yang dikasih Bunda tiga bulan sebelumnya. Artinya uang yang baru dikirim belum kesentuh sama sekali," gadis itu mengingat.
"Terus.. uang Bunda kemana dong??"
Grep
Syakila tersentak dan memutar kepalanya ke belakang dengan cepat.
"Heh! Ngap--Halka???" Syakila membelalakkan matanya saat tahu suaminya lah yang memeluknya.
Tangan Halka bergerak mendorong pipi Syakila agar menoleh menghadap depan, lalu tangannya dilingkarkan kembali pada perut sang istri.
"Jangan gini ih. Nanti ada yang tiba-tiba datang, terus liat kita kayak gini gimana?" bisik Syakila saat Halka malah menumpukan dagu di pundaknya.
Setelah upacara, biasanya kelas menjadi sepi karena semua murid akan berada di kantin. Jika murid rajin, akan ke perpustakaan. Lain lagi dengan murid perusuh. Tau sendirilah, mereka akan kemana.
Halka menegakkan tubuhnya lalu memutar tubuh Syakila menjadi berhadapan dengannya. "Cari apa?"
Syakila melirik sekilas tasnya yang tergeletak di meja.
"Uang yang dikasih Bunda, masa nggak ada di tas," keluh Syakila mengayunkan tangannya yang digenggam Halka ke kanan-kiri.
"Padahal belum kepake sama sekali," adu gadis itu dengan kepala mendongak hingga bola mata coklatnya bisa lurus menatap Halka karena tinggi badan cowok itu.
Halka melepas genggamannya lalu mengangkat tubuh Syakila untuk didudukkan di meja. "Udah di cari?"
"Udah. Tuh liat," tunjuk Syakila ke samping dimana barang-barang sekolahnya yang sudah berantakan, Halka mengikuti arah pandang gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Teen Fiction‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...