Syakila mendongak sembari menurunkan tangannya yang membawa ponsel. Di depannya sudah ada seorang cowok. Syakila mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum tipis.
"Sendirian?" tanya cowok itu.
Syakila mengangguk pelan.
"Ngapain di sini?" tanya cowok itu lagi.
"Oh-itu, nunggu orang," jawab Syakila menunjuk asal belakangnya. "Lo sendiri, kenapa di sini, Gin?"
Jika Syakila tengah menunggu seseorang yang sedari tidak muncul-muncul, justru tanpa diduga, ia malah bertemu dengan sang wakil ketua OSIS. Cowok yang ramah, murah senyum, dan bertalenta ada pada Gino. Tertarik? Jawabannya iya. Syakila suka dengan Gino. Dalam artian bukan mencintai. Ia hanya sebatas mengagumi. Syakila masih cukup waras jika ia sudah mempunyai suami.
"Nggak sengaja liat lo. Oh ya," Gino melepas sebelah selempang tasnya dan membuka resleting tas. Ia mengeluarkan kertas dan di sodorkan pada Syakila. "Lo di suruh Bu Yeni mewakili serah terima jabatan yang diadain dua minggu lagi. Lo pilih dua orang lagi buat nemenin lo bawa bendera ekskulnya."
"Kok gue sih, Gin? Bukannya ketuanya?" bingung Syakila menunjuk dirinya sendiri.
"Lah mana gue tau, Kil. Kan Bu Yeni yang ngampu ekskul lo," ucap Gino terkekeh.
Syakila menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Eh, iya ya," nyengirnya malu.
Gino tersenyum sembari geleng-geleng. "Nih," ujar cowok itu mendekatkan kertas, Syakila mengambilnya.
Tangan Gino bergerak meresletingkan tasnya lalu memasang kembali selempang tas di pundak. Tangan besar itu beralih ke pucuk kepala Syakila dan mengacaknya gemas membuat Syakila sedikit menundukkan kepalanya kikuk.
"Kil."
Suara seseorang membuat Syakila dan Gino menoleh bersamaan. Akhirnya seseorang yang ditunggu-tunggu Syakila sedari tadi datang juga.
"Gue duluan ya, Kil. Orang yang lo tunggu ini kan?" pamit Gino menunjuk cowok yang baru saja datang. Syakila mengangguk.
"Jangan lupa dua minggu lagi. Hari Senin ya cantik," peringat Gino masih sempat mengedipkan sebelah matanya membuat Syakila meringis senyum.
"Siapa?" tanya Langit saat Gino sudah menjauh, mengundang kerutan di kening Syakila.
"Pacar lo?" tanya cowok itu lagi.
Syakila terkekeh remeh lalu memutar bola matanya malas. "Nggak ada urusannya sama lo. Sekarang selesaikan urusan kita dan jangan ganggu gue lagi," ujarnya penuh penekanan di akhir kalimat.
Langit tersenyum miring. "Lo emang ngomong gitu, Kil. Tapi gue nggak bisa percaya gitu aja. Gue suka sama lo. Apa lo nggak bisa terima gue sedikit aja?"
Syakila menghela napasnya lelah. "Sorry, Langit. Gue emang nggak bisa terima perasaan lo. Gue nggak mikir itu dulu. Bisa kan lo ngertiin gue?"
Syakila dapat melihat sorot mata kekecewaan Langit. Bahu cowok itu merosot. "Gue bakal tunggu," ujar Langit mantap.
Lagi-lagi Syakila menghela napas lelah. Kali ini lebih panjang. Harus bicara seperti apalagi untuk menolak Langit?
"Langit," panggil Syakila berubah nada. Ia harus meyakinkan Langit agar tidak terus-terusan seperti ini. "Gue nggak ada perasaan sama lo, dan nggak bakal bisa punya perasaan sama lo. Gue lagi nggak mau mikir cinta-cintaan dulu. Lo bisa ngerti nggak?" jelas istri Halka itu lembut agar Langit dapat memahaminya.
"Kenapa nggak bisa?" tanya Langit.
Syakila terdiam sesaat. Gadis itu meletakkan sebelah tangan yang membawa kertas ke belakang punggung dengan kepalanya sedikit mendongak menatap awan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Teen Fiction‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...