"Bun.. Kila ikut ya?" rengek Syakila menggoyangkan lengan Iren yang sedang mempersiapkan makan malam di dapur.
Sedari pulang sekolah tadi, Syakila mengikuti kemanapun Iren pergi. Dari mulai masuk kamar, ke supermarket, kamar mandi, hingga sekarang di dapur. Iren tetap menggeleng sesekali menjelaskan pada putrinya itu.
"Bunda, apa kejutan buat Syakila?" tanya Syakila membantu Iren meletakkan telur di piring putih. "Boleh di tuker aja nggak, Bun?"
"Bunda, Syakila mau ikut Bundaa..."
"Bun,"
"Bundaa,"
"Diem kenapa sih, Kil. Ini taruh di meja," ujar Iren menyodorkan dua piring yang masing-masing berisikan ayam dan sayur kangkung.
Syakila dengan cepat menerima piring itu dan meletakkannya di meja. Setelah itu, ia mulai menarik lengan baju Iren seperti anak kecil yang tengah meminta sesuatu.
"Bun, kejutan buat Kila di tuker. Jadi, Kila ikut Bunda aja ya?"
"Bundaa."
"Kila nggak mau ditinggal sendirian di sini. Nanti kalau ada yang jahatin Kila gimana?"
Iren yang sedang fokus memindahkan tempe di piring, menghentikan aktivitasnya dan membalikkan badan sepenuhnya pada Kila.
"Sejak kapan kamu jadi kayak gini?" tanya Iren memicing, membuat Kila mengerutkan keningnya.
"Kayak gini gimana, Bun?"
"Sejak kapan kamu jadi seperti anak kecil?"
"Bunda ih." Syakila menghentakkan kakinya. "Kila serius, Bun."
"Bunda lebih serius," jawab Iren beralih bersidekap.
"Syakila nggak mau sendiri di sini. Kila mau ikut, titik!" ujar Syakila yang ikut bersidekap seperti Iren. Wajahnya cemberut dengan bibir yang sedikit melengkung ke bawah.
"Kamu nggak akan sendiri. Bunda udah bilang kan? Akan ada kejutan untukmu nanti. Kamu tunggu Ayah pulang dulu. Nanti tau apa kejutan untukmu." Iren kembali melakukan apa yang sempat tertunda. Wanita itu membawa piring berisikan tempe ke arah meja makan.
Sedangkan Syakila? Ia termenung mendengar ucapan ibunya.
Nggak sendiri? Lalu sama siapa?
****
"Setelah makan, Bunda akan bicarakan kejutan kamu, Kil." Iren menumpuk piring-piring kotor dan membawanya ke wastafel untuk di cuci. "Jangan masuk kamar dulu."
Syakila mengangguk. Tio–ayah Syakila menatap sang putri dengan senyum di bibirnya. Membuat Syakila terheran-heran, kenapa ayahnya senyum-senyum?
"Ayah kenapa gitu mukanya?" tanya Syakila bangkit dari duduknya–berniat membantu sang Bunda untuk mencuci piring.
"Ayah nggak sabar," jawab Tio melipat kedua tangannya di atas meja makan.
Syakila yang sedang mengelap piring setelah di cuci menoleh ke belakang–menatap heran sang ayah. "Nggak sabar apa sih, Yah?"
"Nggak sabar karna kamu akan nik—"
"Ayah! Nanti aja!" sahut Iren setengah berteriak dan mematikan kran air.
Tio meringis. "Iya-iya," jawabnya bangkit dari duduk. "Ayah tunggu di ruang tengah ya."
Syakila semakin mengerutkan keningnya. Ia meletakkan piring yang sudah di lap di rak. Lalu menghadap sepenuhnya pada Iren yang sibuk melanjutkan mencuci piring.
"Nggak sabar kenapa sih Bun?" tanya Syakila memegang lengan Iren. "Ayah sama Bunda aneh tau nggak?"
"Nggak sabar nik? Nik apa? Apaan sih, Bun?"
"Nanti kamu tau," jawab Iren singkat tanpa menghentikan aktivitasnya.
****
Tio dan Iren saling memandang, lalu menganggukkan kepala bersama. Semua itu tidak luput dari pandangan Syakila. Merasa aneh dengan kedua orang tuanya yang sedari tadi tingkahnya membingungkan.
"Ayah mau membicarakan ini sama kamu, Kila." Tio–ayah Syakila–memulai pembicaraan pertama mereka setelah acara pandang-memandang selesai.
"Kamu sekarang umur berapa?" tanya Tio pada Syakila.
"Emm.." beo Syakila yang tengah berpikir sembari menatap jam dinding yang ada di ruang tengah. "17 tahun, 9 bulan, 22 hari. Masih lebih lagi 7 jam, 25 menit," jawabnya mantap tersenyum ke Tio.
Tio mengangguk. "Kamu tau, ayah dan bunda akan pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan proyek di sana, kan?"
Seketika senyum Syakila hilang. Ia melirik menatap sang ibu dengan raut wajah sedih. "Tau, Ayah," jawabnya lirih.
"Kamu tau, kamu masih tinggal di sini? Melanjutkan sekolahmu di sini kan?" tanya Tio, Syakila mengangguk kecil.
"Kamu tidak akan sendirian, sayang," sahut Iren yang sedari tadi menyimak. "Bunda sudah bilang akan memberimu kejutan, bukan?"
Sebelum Iren melanjutkan perkataannya lagi, wanita itu menoleh pada sang suami. Meminta persetujuan agar dirinya saja yang akan mengatakan. Tio mengangguk mantap. Meyakinkan sang istri bahwa inilah keputusan yang tepat.
"Bunda dan Ayah akan menikahkan kamu dengan anak dari teman Ayah," ujar Iren yang membuat Syakila menegakkan tubuhnya.
"Hah? Nikah? Dijodohin maksudnya?" kaget Syakila hingga memberikan pertanyaan beruntun.
Tio dan Iren kompak mengangguk. "Iya. Bisa dibilang seperti itu," jawab Iren.
Bola mata Syakila membola seketika. "Yang bener aja Kila di nikahin? Masih sekolah loh Bun, jangan ngadi-ngadi lah."
"Bunda nggak bercanda," sela Tio.
Syakila menoleh ke arah ayahnya. Terlihat raut wajah yang serius. Artinya benar. Apa? Dirinya akan menikah? Di usia semuda ini?
"Bunda bilang Kila diberi kejutan? Ini kejutannya, Bun?" tanya Kila lirih.
Iren menggeser posisi duduknya lebih dekat dengan Syakila. "Sayang," panggilnya sambil memegang sebelah tangan Syakila.
"Bukan tanpa sebab ayah dan bunda menikahkan kamu. Kamu tau anak depan rumah? Dia nggak pulang tiga hari setelah ditinggal orang tuanya ke luar negeri. Setelah itu apa? Ada rumor tentangnya hamil kan? Bunda tidak mau seperti itu terjadi, sayang. Di perumahan kita, banyak anak gadis yang hamil di luar nikah. Apa kamu tau itu dosa besar, sayang? Itu paling dibenci oleh Allah, Kila," jelas Iren meyakinkan putrinya.
"Ayah dan bunda tau kamu bukan anak seperti itu. Ayah dan bunda tau kamu tidak akan melakukan seperti itu. Tapi, kamu tau? Banyak juga anak gadis yang terenggut paksa oleh orang-orang yang biadab, yang nggak punya otak dan nggak kenal sama Allah. Bunda nggak mau—ehh astagfirullah." Iren menghentikan ceramahnya saat benda lembut terlempar ke arahnya.
"Bunda lagi jelasin, ayah!" sentak Iren pada Tio karena suaminya itu malah melempar bantal sofa ke arahnya.
"Nggak usah sampe sana, Bun. Tegang muka anaknya tuh."
Iren kembali menatap Syakila. "Apa kamu mau menikah dengan anak teman ayah, Kila?"
Syakila menatap sang bunda lekat, lalu beralih ke arah ayahnya. Tio mengangguk. "Semua ada di tangan kamu," ujar Tio kepada Syakila.
"Om dan tantemu di desa. Kamu tidak punya saudara yang tinggal di sini, Kila. Putuskan dengan baik. Bunda nggak memaksa kamu," sahut Iren.
Syakila menatap kedua orang tuanya bergantian. "Apa Ayah dan Bunda bakal tenang kalo Kila di nikahkan?"
Iren mengangguk, "Bunda jadi nggak khawatir akan itu, Kila."
Syakila menarik napas panjang, lalu menghelanya perlahan. Ia memejamkan matanya sambil mengangguk. "Syakila mau, Bun, Yah."
"Alhamdulillah."
****
~Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Teen Fiction‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...