"Yes! Bunda udah centang dua!"
Syakila antusias ketika chat yang dikirim ke Iren dua hari lalu sejak pemberangkatan sudah menampilkan ceklis dua bewarna biru. Artinya, pesan Syakila baru saja dibaca oleh Bundanya.
Tanpa basa-basi lagi, Syakila segera memencet tombol call agar bisa mendengar suara Bundanya.
Tut...
Tut...
Tut..
"Bun, angkat dong." Syakila menggigit kukunya, tidak sabar mendengar suara Iren.
Tut..
Tut..
Maaf nomor yang ada tuju tidak dapat menerima panggilan ini. Cobalah--
"Bunda.. Kenapa nggak diangkat!!"
Perasaan tidak tenang mulai bermunculan di hati Syakila. Syakila mencoba berulang kali memanggilnya. Tapi nihil, panggilannya tidak dijawab sama sekali.
"Tenang, Kil. Coba sekali lagi." Syakila mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan menarik napas lalu membuangnya.
Syakila menatap layar ponselnya ragu dan tangannya was-was saat akan menyentuh layar yang bergambar call itu. Setelah mantap, Syakila segera memencet tombol call dengan mata terpejam.
Tut..
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah--
"Ck, Bunda!! Kenapa malah nggak aktif!!" Syakila mematikan panggilan dan melempar ponselnya di kasur dengan asal.
Gadis yang telah bersuami itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di kedua lututnya. "Bun, Kila nggak tenang. Kila kangen Bunda," lirihnya tak tenang.
"Bunda kenapa nggak ngabarin Kila sih? Kenapa juga hp Bunda malah nggak aktif lagi?" sambung gadis itu menahan isakan yang akan keluar.
Cklek
"Sya?"
Syakila mengangkat sedikit kepalanya. Lalu dengan cepat, gadis itu mengusap kasar matanya yang sedikit berair karena hampir menangis.
Terlihat Halka mendekati Syakila yang duduk di tengah-tengah ranjang. Cowok itu ikut mendudukkan dirinya di tepi kasur.
Mata Halka memicing dan menatap intens wajah Syakila. "Nangis?" tebak cowok itu.
Dengan spontan, Syakila menggeleng. Apa sangat keliatan jika dirinya menangis? Ralat. Syakila tidak menangis tadi, tapi hampir.
"Kenapa?" tanya Halka mengubah posisinya dengan sebelah kaki yang naik ke kasur, tubuhnya sedikit menyamping menghadap Syakila.
Syakila menggeleng kembali. "Nggak-" Ucapan Syakila terhenti sejenak. "Nggak papa," lanjutnya tersenyum tipis.
Halka mengangkat alisnya tak percaya, sedetik kemudian cowok itu mengangguk. Suami Syakila itu berdiri dan berbalik berjalan menjauhi istrinya membuat Syakila bernapas lega. Mungkin, memang saat ini Syakila belum bisa menceritakan hal-hal tentang dirinya ke Halka. Meskipun cowok itu adalah suami sahnya.
"Sya," Halka berbalik membuat Syakila menegakkan tubuhnya.
"Apa?" tanya Syakila dengan kening berkerut.
"Ambilin buku gue di dapur. Lupa bawa tadi," suruh cowok itu sembari duduk di meja belajar yang memang ada di kamar apartemen.
Syakila mendelik. "Kok gue??" tunjuknya pada diri sendiri.
Halka menoleh sembari membuka buku lain yang ada di meja. "Tolong ambilin. Nggak mau?"
"Nggak! Ambil aja sendiri," tolak Syakila mentah-mentah. Gadis itu kembali memainkan ponselnya dengan kepala bersandar di kepala kasur.

KAMU SEDANG MEMBACA
HALSYA [Selesai]
Fiksi Remaja‼️WARNING‼️ Cerita nggak jelas. Yang nggak suka lebih baik jangan baca. ✪✪✪✪ "Kita emang pasangan. Gue sebagai majikan, dan lo babu gue. Itu termasuk pasangan kan?" ✪✪✪✪ Syakila terpaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya karena suatu ha...