"Ada yang lihat Zoya?""Lihat Zoya, gak?"
Jessie tak berhenti mencari-cari keberadaan gadis itu setelah mengetahui kabar video yang beredar. Sebagai psikolog yang magang di kampus itu, sekarang adalah tugasnya pun karena dia juga sudah berjanji akan membantu Zoya dalam pemulihan kondisi mentalnya.
Tapi kabar buruknya sekarang gadis itu tidak bisa diketahui tempatnya. Ia yakin kalau Zoya pasti sangat malu dan terpuruk karena video tersebut. Apalagi setelah tahu latarbelakang gadis itu memiliki mental yang jauh dari kata baik sebab pernah melakukan percobaan bunuh diri. Bisa gawat kalau kejadian buruk itu terulang lagi. Pokoknya Jessie harus menemukan gadis itu bagaimana pun caranya.
"Zoya!"
Ternyata disini, yang punya nama malah sedang duduk terbengong dengan tatapan kosong di pojok perpustakaan. Jessie mendekati gadis itu dengan perasaan iba, namun sedikit lega kala mendapatinya dalam kondisi baik-baik saja.
"Lo disuruh keruangan rektorat." Jessie menyampaikan amanat yang diperintahkan oleh kepala rektor universitas tersebut.
Gadis itu tersenyum getir masih menatap hampa kedepan. "Bahkan video nya udah sampe ke mereka,"
Kerongkongan Jessie terasa seperti dicekik melihat gurat sendu gadis malang itu. Ia mencengkram pundak kanan Zoya berusaha memberikan kekuatan. "Gue temenin, Lo." Ujarnya.
Terdengar helaan napas berat gadis itu, ia melirik singkat pada Jessie. "Terimakasih." Sebuah kata tabu dia ucapkan di kondisi yang tidak perlu.
Sebagai lulusan psikolog Jessie tahu betul apa yang sedang dirasakan oleh Zoya saat ini. Dia tidak bisa berpikir jernih, gadis itu terus mengingat dampak dari masalah yang timbul akibat video itu. Dia memikirkan hal-hal yang akan semakin membuatnya merasa paling bersalah. Pandangannya kosong, berarti hal itu sudah tidak bisa ditolerir akal sehatnya.
______
Zoya melangkah beriringan dengan Jessie disampingnya. Matanya yang biasanya tajam bak elang, kini terlihat hampa dengan sayu. Otaknya tidak bisa merasakan tempat dia berdiri sekarang, banyak sorot mata mengarah padanya samasekali tidak dihiraukan. Lebih tepatnya dia seperti orang linglung.
Hingga tiba didepan ruang rektorat dia masih melamun. Jessie menghentikan langkah gadis itu sejenak. "Kalau mereka nanya, lo harus jawab yang sejujurnya. Ngerti?" Jelasnya.
Zoya termangu beberapa detik. Menyadari gadis itu tidak merespon, Jessie menjadi khawatir.
"Zoya, lo denger gue?"
Hanya anggukan kepala singkat. Setidaknya gadis itu merespon. Semoga didalam nanti Zoya bisa menjelaskan semuanya.
_____
Jessie masuk terlebih dahulu kemudian baru Zoya mengekor dibelakangnya. Terlihat didalam sana, beberapa kursi sudah ditempati oleh ketua rektor, wakil rektor prodi ilmu perpustakaan dan dosen yang bertanggung jawab di kelas Zoya. Jessie menuntun Zoya ke kursi kosong yang telah disediakan untuknya lalu mengambil tempat disebelah gadis itu.
Tatapan kecewa kentara terlihat dari ketua prodi perpustakaan selaku dosen yang mengajar Zoya. Melihat anak didiknya yang terjerat kasus memalukan seperti ini. Sedangkan Zoya, masih tidak bisa merasakan emosi disekitarnya.
"Baiklah, langsung saja kami sampaikan karena mahasiswi yang bersangkutan sudah berada disini." Kepala rektor mulai menyampaikan keputusan yang telah mereka perbincangkan sebelumnya.
Gadis itu nampak celingak celinguk kesamping. "Tunggu, kak Billy belum datang." Ujarnya memutari seluruh ruangan dengan matanya, mencari keberadaan cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang kosong di pojok Hati (SELESAI)
Teen Fiction[ Follow dulu, sayang 😉 ] Belum banyak pembaca beruntung yang menemukan cerita ini. Makanya jadilah yang pertama dan beritahu teman lainnya! Kisah ini mengandung bawang! 🏅Rank 3 #depretion 🏅Rank 1 #Danielle 🏅Rank 2 #malas 🏅Rank 3 #bodoamat 🏅Ra...