Dampak terbesar

76 19 0
                                    


Alben berjalan lunglai usai keluar dari ruangan dokter Aji. Bunyi tubrukan mengagetkan Dona, Dani, Elle, Danielle, Miranda, Amora, dan Nicholas, mereka serempak mengalihkan pandangan menoleh ke belakang mendapati Alben sudah terduduk di lantai setelah menabrak seorang perawat yang membawa nampan berisi alat-alat bedah. Pandangan lelaki paruh baya itu terpusat pada alat-alat medis yang berserakan di lantai akibat ulahnya.

Danielle berlari mendekati perawat tersebut untuk membantunya merapihkan kekacauan yang dibuat oleh Alben tak lupa mengucapkan kata maaf, sedangkan Nicholas membopong tubuh papanya dan membawanya ke salah satu kursi yang tidak jauh dari sana.  Yang lain juga ikut menyusul Nicholas untuk melihat kondisi Alben.

"Ada masalah apa, om?" Tanya Danielle khawatir.

"Apa yang dikatakan oleh dokter Aji tadi?" Tuntut Dona.

Alben bergeming dengan pikirannya sendiri, perkataan dokter Aji masih terus mengganggunya. Dia tidak mampu menjelaskannya sekarang tentang kemungkinan dampak terburuk yang akan terjadi setelah operasi tersebut dilakukan. Beberapa kali Dona coba menyadarkan suaminya itu namun seakan membatu, Alben bahkan tidak berkedip hingga membuat mereka semakin cemas.

Namun tiba-tiba lelaki paruh baya itu tertunduk dengan bahu bergetar kemudian suara terisak terdengar dari mulutnya. Dia tidak mampu menahan beban ini sendiri, melihat putrinya terkulai lemas tak berdaya, bertarung antara hidup dan mati.

"Ada apa, mas?" Dona mencoba menyadarkan Alben akan tetapi pria itu tetap bergeming.

"Papa kenapa?" Amora berlutut dihadapan papanya itu.

"Kamu benar Niel, om gak pantes menjadi seorang papa." Ujarnya tanpa melihat wajah heran Danielle. Cowok itu tidak mengerti mengapa om Alben berkata seperti itu.

"Om gak bisa buat Zoya bahagia," sambungnya.

Danielle menatapnya penuh selidik. "Kenapa sama Zoe, Om?" Desaknya.

Lagi-lagi tangis Alben pecah, ia semakin tersedu. Dengan kesusahan Amora menahan tubuh sang papa yang mulai meluruh, menjadikan dirinya sebagai penyangga.

"Zoya kenapa, mas?" Tanya Dona semakin tidak mengerti dengan situasi.

"Om jangan buat keadaan semakin panik, katakan ada apa? Apa yang dokter Aji katakan?" Tuntut Danielle kalut.

Alben mengusap wajahnya dengan kasar. Ucapan itu kembali menggema didalam kepalanya.

Flashback

Dokter Aji menunjukkan hasil CT scan tempurung kepala Zoya yang terpampang jelas dilayar monitor. Dokter tersebut menunjuk bagian lukanya, Alben menyimak dengan teliti.

"Ini," dokter Aji menunjuk garis berbentuk horizontal tak beraturan itu.  "Lukanya terlalu dalam hingga serpihan beling yang masuk sangat mustahil dibersihkan dengan alat seadanya."

"Lalu bagaimana dengan operasinya?" Tanya Alben, bukankah itu tindakan yang akan diambil.

Terlihat raut bimbang diwajah dokter muda itu. "Tapi resikonya besar, om." Ujarnya membuat Alben terdiam.

Kali ini dokter Aji berbicara sebagai seorang keponakan, dia juga sangat mengenal Zoya jadi tidak mungkin dia akan membiarkan gadis itu menderita.

"Apa resikonya?" Alben bertanya takut-takut. Dia tidak sanggup mendengar penuturan dokter Aji selanjutnya.

Dokter Aji meng-zoom bagian luka dikepala Zoya hingga memperjelas gambar jaringan saraf yang berjarak hanya beberapa centimeter dari lukanya.

"Saraf ini menghubungkan otak dengan mata dan ini ke mulut sedangkan yang ini ke daerah tulang belakang." Paparnya menunjuk masing-masing dari yang dijelaskannya.

Ruang kosong di pojok Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang