Antara dua muka

72 15 0
                                    


Rindu. Itulah yang bisa menggambarkan pertemuan Zoya dan kedua orangtuanya yang sudah dia nantikan beberapa hari ini. Tangis haru Dona terlihat saat mengurai pelukan hangatnya, segera gadis itu menyingkirkan buliran bening yang menghalangi wajah cantik wanita paruh baya itu. Dia tidak suka melihat mamanya menangis apalagi jika penyebabnya adalah Zoya sendiri.

"Zoya, maafin Mama ya, sayang. Mama gak tahu kalau Billy orang yang jahat. Semua ini karena Mama. Mama yang terburu-buru untuk menjodohkan kamu. Maafin Mama." Sesalnya entah untuk yang kesekian kali.

Zoya menggeleng cepat, dia tidak suka setiap kali orang yang berkunjung selalu meminta maaf untuk kejadian yang dialaminya. "Bukan salah Mama. Ini cuma musibah. Anggap aja waktu itu lagi nasib sialnya Zoya." Ungkapnya.

"Sayang_"

"Jangan pa, Zoya gak mau denger siapapun minta maaf. Kalian gak salah pokoknya." Sela Zoya ketika Alben hendak membuka suara.

Lelaki paruh baya itu tersenyum tipis dan membawa putrinya kedalam dekapan hangatnya. "rasanya papa bisa menghirup udara segar lagi setelah melihat semua yang terjadi belakangan ini." Ujarnya penuh kelegaan.

Zoya mendongak singkat untuk melihat wajah papanya dan ikut mengusung senyum lebar. "Allah masih memberikan kesempatan untuk Zoya supaya bisa membahagiakan mama sama papa." Imbuhnya.

Setelah pelukan rindu, mereka bertiga sibuk bercerita mengenai hal-hal yang terjadi beberapa minggu belakangan. Tawa mereka juga mewarnai suasana hati Zoya yang tadinya sendu setelah melewati beberapa hari penuh dengan kebimbangan dan kesepian. Dia sungguh merindukan momen kebersamaan seperti sekarang ini. Namun tiba-tiba Zoya kepikiran omongan kakeknya kemarin.

Zoya mengamati dengan lekat bagaimana raut wajah kedua orangtuanya yang begitu bahagia. Dia bisa merasakan bagaimana tulusnya kasih sayang yang mereka berdua limpahkan untuk Zoya. Tapi mengenai warisan itu bagaimana? Benarkah kedua orangtuanya menyayangi Zoya hanya demi mendapatkan bagian dari warisan?
Dan benarkah kalau mereka masih menginginkan kematian Zoya?
Apakah Zendaya masih menjadi anak kesayangan mereka?

"Kamu kenapa, sayang?" Zoya tersentak kaget ketika lamunannya dibuyarkan oleh tepukan pada lengannya. Gadis itu menggeleng singkat, menatap Dona yang terlihat khawatir akan kondisinya.

"Ada yang sakit? Atau pusing?" Selidik Dona cemas ketika putrinya tiba-tiba terdiam setelah tadi tertawa.

Lagi-lagi gadis itu menggeleng singkat. Lalu pandangannya melirik tangan Dona yang bertengger di wajahnya. "Ma," kali ini gantian wajah Zoya yang berubah panik ketika menyadari lengan baju mamanya kotor dan lantas memeriksanya. "Apa Mama jatuh? Jatuh di mana? Sampai kotor begini, lututnya juga ko_"

"Enggak, mama gak jatuh." Potong Dona cepat sebelum Zoya berpikiran yang tidak-tidak.

Zoya menatapnya bingung. "Terus ini kenapa bisa kotor semua?" Selidik nya.

"Tadi sebelum kesini mama sama papa mampir ke kuburan Yaya sebentar." Jelasnya. Seketika wajah Zoya berubah muram.

"Oh," hanya itu komentarnya. Ternyata benar yang dikatakan kakeknya, kalau mama dan papanya akan selalu menjadikan Zendaya sebagai yang pertama. Tapi dia tidak boleh percaya begitu saja, sekali lagi ia akan memastikan ketulusan kasih sayang orangtuanya padanya.

"Em, ma? pa?" Panggil Zoya sedikit ragu, dia khawatir tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pertanyaannya ini. Tapi untuk membuktikan omong kosong kakeknya dia akan terus berusaha mencari keyakinannya.

"Kenapa, sayang?" Tanya Dona.

"Ada apa, hm?" Sahut Alben juga penasaran.

Zoya menatap mereka dengan penuh harap. "Nisan Yaya udah diganti namanya belum?" Ujarnya hati-hati.

Ruang kosong di pojok Hati (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang