"Gimana kabar Zoya, bro?"
Danielle mengangguk singkat bersamaan dengan suara dentingan gelas yang baru ditaruhnya diatas piring kecil sebagai alas. "Good. Lukanya juga mulai membaik." Ujarnya usai menyesap kopi hangat didepannya.
"Syukurlah," helaan napas lega terdengar. "By the way, bilangin ke Zoya 'sorry' gue belum sempet jenguk dia." Lanjut Bruno merasa tak enak, tapi berhubung memang dia sedang sibuk mengurus kasus keluarga Billy yang tentunya menyangkut nama baik Bruno juga. Alhasil dia belum bisa menyempatkan waktu berkunjung kerumah Zoya.
"Santai aja, bro, gak ngambekan kok orangnya. Dia juga ngucapin makasih karena lo udah bantu donor darah waktu itu." Tutur Danielle mewakilkan Zoya.
Bruno tertawa kecil membuat kening Danielle berkedut keheranan.
"Kenapa lu ketawa?" Selidik nya."Berarti sekarang Zoya darah daging gue dong, ya?" Canda Bruno semakin tergelak diujung kalimatnya.
"Najis! Kasian banget Zoe dikasih darah kotor." Timpal Danielle ikut tertawa geli.
"Sialan, darah gue darah suci cuk! Murni keturunan eyang sepuh kaisar Romawi." Ujar Bruno tak terima diejek.
"Keturunan Fir'aun, lo. Bibit bobot penghuni neraka jahanam!" Tambah Danielle sarkas.
"Anjir!" Umpat Bruno nyaris tersedak air liurnya sendiri.
Danielle menggeleng tak habis pikir sembari terkikik geli melihat tingkah konyol sahabatnya itu. Perlahan-lahan ekspresinya berubah normal ketika teringat sesuatu hal yang membuat mereka bertemu saat ini. "Oh iya, ada apa lo maksa gue ketemuan disini? Katanya ada yang penting, apaan?" Tuntut Danielle penasaran dengan alasan penting yang Bruno katakan lewat sambungan telepon kemarin malam.
"Eh minum gue, Saepul!" Heboh Danielle ketika minumannya diseruput oleh sahabatnya itu tanpa permisi.
"Elah, gue yang buatin juga." Timpal Bruno tanpa dosa malah kembali menenggak minuman tersebut hingga nyaris menyisakan setengah dari cangkir.
Danielle mendengus kesal. "Ya udah berarti minumannya gratis, ya? gue gak mau bayarlah."
Ukhuk,
Bruno terbatuk-batuk saking terkejutnya. "Segitunya lo Niel, minta dikit juga." Ujarnya memasang raut memelas lengkap dengan puppy eyes.
Seketika kekehan kecil terdengar dari keduanya. "Gak kuat gue lihat muka lo," ejek Danielle malah semakin memancing gelak tawa keduanya. Sudah lama mereka tidak berbincang seru seperti ini, apalagi akhir-akhir ini masalah tak kunjung berhenti hingga tidak ada waktu untuk Danielle dan teman-temannya meski sekedar nongkrong.
Berusaha sekuat mungkin mereka menyudahi tawa renyah tersebut. "Eh bro, serius. Dengerin gue," mimik wajah Bruno kali ini berubah serius begitupun Danielle yang sontak memasang telinganya menunggu sang sahabat berbicara.
"Dua hari yang lalu gue, keluarga gue, sama beberapa anggota polisi mendatangi rumah Billy." Tutur Bruno sementara Danielle menyimak dengan baik tanpa harus berkomentar apa. "Kami nemuin Tante Rahayu, mamanya Billy udah meninggal di kamarnya."
Kening Danielle berkerut sebab terkejut. "Terus?" Tanyanya penasaran menunggu kelanjutan ceritanya.
"Kemungkinan dia gantung diri." Sambung Bruno membuat Danielle terdiam.
"Gue turut berdukacita, bro." Tutur Danielle berbela sungkawa karena meskipun keluarga Billy adalah keluarga yang dibencinya namun dia harus ingat kalau mereka juga keluarganya Bruno, sahabatnya. Jadi tidak mungkinlah Danielle akan mengatakan kalau dia tidak perduli. Untuk menghormati persahabatan mereka ia juga harus memiliki empati meskipun terhadap musuhnya sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang kosong di pojok Hati (SELESAI)
Teen Fiction[ Follow dulu, sayang 😉 ] Belum banyak pembaca beruntung yang menemukan cerita ini. Makanya jadilah yang pertama dan beritahu teman lainnya! Kisah ini mengandung bawang! 🏅Rank 3 #depretion 🏅Rank 1 #Danielle 🏅Rank 2 #malas 🏅Rank 3 #bodoamat 🏅Ra...