Hari-hari berlalu. Musim dingin segera berakhir. Orang-orang mulai banyak melakukan rutinitas di luar ruangan. Burung-burung mulai berimigrasi dari daratan yang hangat menuju perkotaan kerajaan. Rakyat tertawa gembira dan panjat doa kebahagiaan atas berakhirnya musim dingin dan menjelang musim semi. Di pertengahan pusat kota beberapa warga memasang berbagai hiasan-hiasan sepanjang jalan pusat. Di atas pancuran kota, mereka memasang sepasang burung angsa melengkung membentuk hati. Di sisi lain anak-anak berlarian bermain tertawa bersama teman-temannya. Transisi musim membawa kebahagiaan bagi rakyat kerajaan Moonnariggh.
Rasa syukur dan bahagia hanya berlangsung di luar tembok istana. Tak ada perubahan berarti dalam istana di masa transisi musim saat ini. Raja sibuk dengan tugas yang ia emban dalam kesejahteraan rakyat, Ratu sibuk dengan pelatihan dan pertumbuhan putra mahkota, dan para pegawai kerajaan disibukkan dengan rutinitas harian seperti biasa. Namun, tak berlaku bagi selir Sophia yang memilih menikmati liburan di luar ibu kota. Ia pergi mengunjungi Kota Xygsya di Prefektur Waryeong wilayah timur. Menurutnya, ada bunga-bunga merah muda yang tengah mekar bersamaan dengan tumpukan salju yang masih menggenang. Keinginannya disetujui oleh Leon dengan alasan janin yang tengah dikandung selir Sophia.
"Lakukanlah jika itu hal baik untuk kandunganmu."
Kalimat singkat namun melegakan bagi Sophia. Tak ada pria sesempurna raja yang selalu memanjakan dirinya. Tak jarang ia membandingkan otoritas yang diberikan raja kepadanya lebih besar dibandingkan kepada ratu. Rasa euforia tumbuh begitu saja dalam pikirannya.
Di suatu ruangan, Eliza sedang menyeruput teh da hong pao pemberian ayah mertua dari dataran darat di benua yang jauh di timur. Ayah mertua memberikannya sebagai hadiah yang disimpannya setelah bertahun-tahun. Menurut ayah mertua, teh tersebut sangat langka tak heran Eliza belum pernah mengenal teh dengan nama da hong pao.
Salah satu pelayan setianya Metty datang menghadap. Di dalam ruangan kosong di sudut istana, Metty memberikan secarik kertas pudar kepada ratu. Mata ratu membulat sempurna membaca suatu informasi yang ia dapatkan. Seketika ia berdiri lalu melangkah menuju perapian dan membakar kertas tersebut di atas perapian.
"Mereka dapat melakukan hal kasar seperti itu." Kalimat retorik terucap dari bibir Eliza.
Netranya menatap perapian yang semakin lama semakin menipis karena kayu-kayu mulai habis.
Di mata Eliza perlakuan kasar pelayan-pelayan istana selir tak dapat dibiarkan. Namun, belum ada bukti kuat yang nyata untuk mendatangi istana selir sebagai bentuk peringatan.
"Sophia tidak akan mengizinkannya dengan berita tanpa bukti seperti ini."
Kejahatan yang terjadi di istananya adalah tugas dan wewenang Sophia untuk menghukumnya. Namun apa alasan pelayan-pelayan itu menyiksa Yris? Mengapa hanya Yris yang disiksa? Apakah ada ketimpangan dan kasta diantara mereka?
"Tidak bisa mencari informasi lebih dalam?" Pertanyaannya dituju pada Metty.
Metty dengan rasa penyesalan berkata, "Maafkan ketidakmampuan saya, Yang Mulia. Aktivitas di dalam istana selir sangat tertutup. Untuk mendapatkan informasi ini adalah bentuk ketidaksengajaan. Seluruh pekerja di istana selir merupakan tahanan perang saat penyerangan."
Eliza menghela nafas dalam. Ia menutup matanya dan menjernihkan pikirannya. Suara dentingan jarum jam sebagai alunan suasana di dalam ruangan. Tubuhnya mulai terasa dingin karena kobaran api telah mati.
"Raja mengizinkan mereka bebas dan bekerja dengan senang hati melayani Sophia. Tak ada satu pun pekerja yang berasal dari kerajaan Moonnariggh di istananya. Ada apa sebenarnya?"
Putaran pertanyaan muncul di otaknya. Pertanyaan yang makin lama semakin membuatnya penasaran. Tak hanya pelayan, dayang istana pun berasal dari kerajaan Olirian. Yang tersisa adalah penjaga istana yang terletak di luar istana untuk berjaga. Ia menegun dan mengeratkan kepalan tangannya.
"Aku harus bertanya kepada Leon."
Di sisi lain, Leon sedang memimpin rapat laporan menteri departemen. Ia mendengar berbagai macam laporan dan usulan dalam perbaikan regulasi pemerintahan. Tak tanggung beberapa anggota rapat mengkritik kebijakan raja mengenai pembebasan dua tahanan perang dari kerajaan Olirian. Mereka kecewa raja dengan mudahnya membebaskan atas usulan selir Sophia.
"Yang Mulia, dengan segala hormat, pembebasan mereka adalah sesuatu keputusan yang kurang tepat. Jika dalam beberapa bulan tahanan telah lepas 1/4 dalam satu tahun kemungkinan 3/4 dari mereka pun bebas." Terang Armor Cashew perwakilan departemen ketenagakerjaan.
Leon yang menumpukkan tangannya di atas pegangan kursi berkata dan berdeham, "Hn. Begitu. Menurutmu keputusanku adalah kesalahan dan membahayakan?" Suara berat dan parau membuat tekanan tersendiri di dalam ruangan rapat.
Cashew membungkuk dengan hormat, "Tentu tidak ada kesalahan dalam keputusan anda. Hanya ketakutan saya terlalu mendalam."
Netra merah dan emas memandang datar pria yang tengah membungkuk di hadapannya. Tak ada seulas senyum terukir dari wajah terstruktur miliknya. Ia hanya duduk santai menyilang satu kaki jenjangnya di atas kakinya yang lain. Para anggota rapat hanya diam hingga suasana sangat hening.
"Kau tahu. Beberapa waktu lalu ratu berduka kehilangan bayinya dan dikatakan ia tak dapat kembali memberiku keturunan. Diselang itu selir hamil dari keturunanku. Aku belajar banyak hal dari kejadian itu. Penyiksaan dan keterpurukan ratu menjadi pembelajaran berarti untuk membahagiakan mereka." Kalimat panjang yang terdengar oleh anggota rapat membuat mereka menelan air salivanya. Di sisi lain mereka memahami dan di lain sisi berharap mereka tak paham. Ujaran raja yang mereka dengar seakan mengatakan 'biarkan ratu saja yang merasakan'.
Cain diam dengan kepalan keras ingin menonjok wajah pria yang tengah duduk di singgasananya. Rossandro dan Robert hanya memandang beberapa kertas di tangannya. Tak ada seorang pun yang menggubris penuturan raja. Leher mereka seakan akan lepas jika mengunterupsinya.
"Rapat selesai."
Semua orang memberikan salam hormat kepada raja sebelum mereka mengundurkan diri. Di dalam ruangan tersisa ketiga orang sahabat raja dan salah satunya menahan amarah.
"Leon, beraninya." Suara yang bergetar dan berat menahan luapan emosi di benaknya. Matanya memerah dengan urat-urat halus di sekitar skleranya.
Rossandro dan Robert menahan Cain lalu mengelus lembut punggungnya.
"Cain, ingat Yang Mulia Ratu. Jika kau marah di sini, apa kau berpikir Yang Mulia Ratu tidak akan terkena dampaknya?" Bisik Rossandro tepat di telinga kanan Cain.
Matanya yang memerah kembali normal. Getaran tubuhnya perlahan tenang. Menyisipkan nama ratu disaat Cain marah adalah pilihan terbaik. Antara dirinya menghormati ratu atau diam-diam ia memiliki perasaan lain pada wanita nomor satu di kerajaan.
Cain menarik dan menghembuskan nafasnya panjang selama tiga kali.
"Aku pergi." Cetus Cain berbalik arah dan meninggalkan ruangan.
Rossandro melepas lega. Rasanya tercekik ketika ruangan ini menjadi hampa dan terasa mencekam melihat Cain dengan emosinya yang meletup.
"Perkataanmu sangat berbahaya, Leon." Tukas Robert kemudian duduk di pelataran ruangan.
Rossandro mengikuti hal yang dilakukan Robert.
"Entah ia sedang memancing amarah para menteri atau memang ia katakan dari lubuk hati." Ucap Rossandro menimpali.
Leon hanya diam menyisakan pikirannya melayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do I Become A Queen?
RomanceSemua ilustrasi dari pinterest Kesamaan alur, cerita, tokoh, dan tempat, murni ketidaksengajaan Ketika seorang pemuda tak berkekurangan bereinkarnasi menjadi seorang ratu sebuah kerajaan besar dan bersanding bersama seorang raja tiran yang ditakuti...