Our Relationship

954 99 3
                                    

Beberapa hari setelah hari persidangan dan eksekusi. Aku sudah cukup tenang dan mulai berani menampakkan diri di hadapan orang-orang. Setelah aku memenggal Sophia, aku segera kembali ke dalam istanaku dan mengunci pintu membiarkanku sendiri selama beberapa waktu. Rasanya jantungku begitu sakit, memikirkan kembali bagaimana terpuruknya aku kehilangan janin yang sempat ku kandung. Rasanya kurang cukup hanya memenggal kepala bangsat itu. Jika dia memiliki lebih dari dua nyawa, aku akan bunuh semua miliknya tanpa sisa. Dia dengan tega menyuruh sekelompok orang menyerangku dan Lucas bahkan membunuh janinku. Aku akan melakukan hal yang serupa untuk membunuhnya.

Aku menggenggam kosong angin yang masuk dalam celah jari-jariku. Aku bertanya-tanya, apakah anakku sudah senang di surga karena aku sudah membunuh orang yang telah menyakitinya? Ataukah dia akan sedih karena menganggapku gila membunuh orang yang membunuhnya? Aku ingin mengulang waktu ketika aku merasakan tendangan mungil dari perutku. Aku tersenyum dan berbicara dengannya meski dia tak bisa menanggapi perkataanku. Hanya tendangan kecil sebagai reaksi bahwa dia mengerti ucapanku.

Aku menangis sejadinya, aku ingin meluapkan segalanya. Jika menangis akan menenangkan akankah membuat diriku lebih baik? Ayah mertua mengatakan bahwa memupuk amarah hanya akan menyebabkan ledakan emosi di masa depan. Aku tidak bisa melampiaskannya pada orang lain terutama Lucas. Bayi yang sudah bisa belajar berjalan dalam usianya.

Beberapa kali terdengar suara ketukan pintu. Namun, aku tak berniat membukanya. Aku butuh waktu sendiri hingga jiwaku sudah membaik. Aku tidak butuh makan dan minum saat ini. Yang ku butuhkan adalah ketenangan.

Dalam masa hari ketiga, aku mendengar sebuah jendela kamarku yang tertutup tirai pecah. Aku terperanjat melihat angin menggoyangkan tirai kamarku. Aku berdecak kesal, siapa orang yang menghancurkan jendela hingga remukan kaca tersebar berserakan di kamar. Namun, aku menganga bahwa seseorang yang menghancurkan jendelaku adalah Leon.

Leon memasuki kamarku dengan pakaiannya pada semi-formal. Apakah dia datang padaku karena mendapat kabar bahwa aku mengasingkan diri dalam kamar? Leon membersihkan pakaiannya dari sisa-sisa butiran kaca yang mungkin saja berjatuhan. Dia berjalan ke arahku dan duduk di sisi ranjang. Ia menatapku dengan hangat, mungkin ini pertama kali aku merasakan sensasi rasa hangat darinya. Dia menepuk-nepuk kepalaku lembut dan menarikku dalam pelukannya. Ia memelukku erat dan tercium wangi woody khas miliknya membuatku nyaman.

"Aku mengkhawatirkanmu."

Dua kata singkat yang membuat jantungku kembali berdegup tak biasa. Ini, begitu sama dengan rasa degupan jantungku ketika di koloseum. Mungkinkah aku mengindap gejala penyakit jantung jika bersamanya? Aku tidak peduli, aku menyukai rasa hangat ini meski jantungku semakin cepat berdebar.

Atas responku, aku memeluknya erat dan rasanya begitu menenangkan. Sepertinya aku memiliki ketergantungan wangi woody-nya yang terhirup dari tubuhnya. Leon melepaskan pelukannya, kemudian dia memberikanku sesuatu seperti kelereng.

"Makanlah, rasanya manis dan asam cukup membantumu untuk mencegah malnutrisi." Ucap Leon dan aku pun mengikuti ucapannya.

"Rasanya seperti permen." Aku mengemutnya terasa kelereng itu meleleh ketika menyentuh lidahku.

"Ini enak." 

"Kamu suka?" Aku mengangguk.

"Aku akan memberikannya lebih banyak di masa depan." Leon menepuk pucuk kepalaku. Aku merasa seperti anak anjing yang puas diberikan cemilan oleh majikannya.

Tidak berlangsung lama, Leon beranjak untuk pergi. Namun, entahlah, aku menarik ujung belakang bajunya dan memohon padanya untuk tetap bersamaku beberapa lama. Rasanya aku akan merasa kesepian jika dia meninggalkanku sekarang. Leon kembali duduk dan aku memegang erat tubuhnya. Aku tidak akan melepaskanmu semenit saja.

Do I Become A Queen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang