Blood

857 89 7
                                    

Malam itu, Eliza memandang manik-manik langit yang indah dari jendela kamarnya. Setelah jendela miliknya dirusak oleh suaminya. Jendela itu diperbesar dengan kaca penuh pada dua jengkal dinding keseluruhan. Sebuah manik membentuk rasi bintang yang cantik. Malam itu, malam yang paling cantik yang pernah Eliza lihat. Dia selalu melakukan aktivitas yang sama setiap harinya, tapi entah mengapa, aktivitas malam hari itu benar-benar mengasyikkan.

Di dalam khayalannya yang nakal, tubuhnya mendesir dingin. Dia terbatuk keras dan kencang, hingga beberapa lama, sesuatu yang menyakitkan seperti tersangkut di dalam tenggorokannya. Eliza mengeluarkan bercak darah dari mulutnya. Dia merasa tubuhnya sangat sehat tetapi mengapa dia dapat batuk bercampur darah.

Eliza mengambil sapu tangannya yang tidak jauh dari meja tempat dia menikmati pemandangan malam. Dia segera menghapusnya dan membuangnya dalam kotak sampah yang telah menumpuk. Di malam hari, para pelayan telah memasuki kamarnya masing-masing. Dia cukup beruntung hanya dirinya yang melihat kejadian itu. Tubuhnya kembali berdesir dan Eliza segera menutup jendela kamarnya dan kembali ke kasurnya.

Sebuah ketukan pintu menginterupsi Eliza yang tengah akan terlelap. Dia berjalan kemudian membuka pintunya dan nampak sosok Leon telah berdiri menunggunya untuk masuk ke dalam. Tidak ada alasan untuk Eliza menolak, pintunya terbuka lebar untuk pria itu.

Leon duduk di sisi ranjang dan menunggu Eliza untuk duduk di sampingnya. Ada segurat kebingungan dari istrinya. Leon mengerti itu, dia membelai lembut surai indah Eliza dan menepuk pelan pada pucuk kepalanya. Eliza sudah cukup sering mendapat perlakuan halus darinya. Tidak ada ekspresi terkejut ataupun curiga, pria itu sudah terbiasa melakukan sentuhan fisik sekarang.

"Mengapa kamu belum tidur?" Suara Leon berat namun lembut. Dia masih belum bosan memandang manik indah wanita di hadapannya. Eliza tidak memberikan ekspresi apapun. Dia menjawab seadanya.

"Aku baru saja akan tidur."

"Benarkah? Berarti aku mengganggumu?" Tidak akan wanita itu mengatakan tidak pada Leon. Eliza hanya tersenyum simpul dan diam sesaat.

"Kalau begitu, mari kita tidur." Leon membelai bahu Eliza pelan mengajaknya untuk naik ke atas kasur dan tidur di sisinya. Tidak ada penolakan, Eliza melakukannya. Bahkan dia tidak menolak ketika Leon mendekat dan memberikan sentuhan hangat di tubuhnya. 

Eliza memandang Leon dalam diam. Sebuah struktur sempurna dari suaminya membuatnya terkesima. Bagaimana bisa, pria itu memiliki bulu mata yang panjang dan indah, hidung yang mungil dan mancung, bibir yang tipis dan merah. Semua terstruktur itu ada padanya. Dia memiliki ketampanan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga aspek yang menjadi idola para wanita. Dan idola yang diidamkan itu ada di depannya, tengah terlelap dengan nafasnya yang hangat.

Seulas senyum terlukis di bibirnya, Eliza mengecup kening pria itu lembut dan tetap diam untuk tidak mengganggunya.

"Sepertinya aku sudah tenggelam dalam sesuatu yang tidak ku ketahui." Kemudian Eliza menutup matanya setelah cukup untuk bermonolog dalam hatinya.

.

.

.

Di pagi hari, Eliza terbangun dalam keadaan sunyi. Butuh beberapa detik untuknya menyadari bahwa posisi di sampingnya telah kosong. Pria itu sudah pergi. Dia tidak perlu untuk terlalu menghiraukannya. Eliza melentingkan tubuhnya sebelum dia melakukan aktivitas pagi. Hari ini, dia akan bertemu Kim yang mana pria itu telah menetap di ibukota setelah membeli sebuah rumah yang cukup dari tabungannya. Sebelumnya Eliza agak khawatir melihat Kim memiliki sendok emas di sisinya, namun kekhawatiran itu sirna ketika Kim menjelaskan bagaimana dia memiliki uang. Kim yang dahulu sebagai ratu di Moonariggh masih mengingat di mana letak harta karun miliknya berada. Eliza sudah bersiap ditemani dengan Lucas dan pelayan setianya Metty.

Do I Become A Queen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang