Matahari mengintip di balik celah titik-titik kaca di sepanjang kediaman ratunya. Siluet muncul terpatri menampakkan garis halus dari tubuh seorang wanita yang sedang bergelut dengan kasurnya. Terlalu lelap untuk sekedar bertukar sapa di dalam mimpi, ia benar-benar kelelahan. Bahkan beberapa pelayan yang membawa beberapa alat tempurnya dengan suara deratan cukup kencang tak bisa membangunkan dirinya. Ia benar-benar tidur seperti orang mati. Setelah berkelana semalaman hingga fajar sebentar lagi menyingsing, ia baru memakirkan kudanya di sebuah hutan tak jauh dari pintu cela tembok tinggi istananya.
Sementara itu, bunyi nyaring telapak kaki seorang penguasa tertinggi kerajaan menyeruak di sepanjang koridor istana. Dengan langkah kaki yang tegap dan ekspresi dinginnya, sebuah pintu terbuka di depan kamar sang ratu yang tengah terlelap. Para pelayan memberikan hormat setinggi-tingginya dan meninggalkan keduanya di dalam ruangan.
"Apakah dia babi?" Sang raja sedang bermonolog dengan alis-alis rajutnya yang mengerut. Wajahnya menengadah melihat angka jarum jam yang berjalan setiap per detiknya.
Jam 3 sore. Ekspresi dinginnya sedikit menggelap. Apakah wanita itu benar-benar lupa?
Tangannya yang keras dan tampilan garus-garis otot sepanjang urat nadinya, dengan sekali hentakkan ia menarik sebuah selimut yang membuntal tubuh ratunya yang hanya bagian kepalanya mencuat ke atas. Sorotan nanar dan kilatan emosi tercium akan memuntah.
"Apa-apan?!"
Suara nyaring Eliza akibat kesal menggema di seluruh bagian kamarnya. Dia sangat mengantuk bahkan di tengah emosinya yang memuncak bulu matanya enggan berpisah antara satu dan yang lainnya. Tubuhnya seperti gula kapas terkena air liur. Benar-benar meringkuk.
"Aaron apakah kau mendengarku? Atas dasar apa kau berteriak di depanku?"
Suara rendah, berat, dan serak membuat matanya terbuka sempurna. Tubuhnya yang seperti gula kapas berdiri tegak seperti pohon beringin. Dengan gerakan sepersekian detik ia memandang pahatan sempurna Tuhan tengah berdiri di hadapannya.
"Yang Mulia." Satu kalimat singkat tak dapat menjelaskan rasa penyesalannya setelah berteriak dengan kencang.
Tatapan mata yang dingin dan garis lurus sempurna pada bibirnya mengeluarkan perasaan tak suka.
"Apa kau lihat jam berapa sekarang?"
Eliza terdiam sejenak, ia sedang mengolah otaknya yang masih memutar berusaha mencerna. Sementara, matanya menangkap jam yang jarumnya mengarah pada angka 3. Sontak ia terperanjat.
"Y-Yang Mulia, maafkan saya. Saya benar-benar melupakannya."
Eliza berdiri tegak dari tidurnya, wajahnya menampilkan seribu penyesalan. Mengapa ia benar-benar melupakannya? Padahal dia sudah memberikan poin merah pada buku agenda untuk menyambut para tamu kunjungan kerja dari Kerajaan Mei.
Suara kecut menjawab dengan langkahnya untuk meninggalkan ruangan, "Tak ada kata terlambat dalam perjamuan."
Dengan langkah kaki yang kuat pria itu benar-benar menghilang.
Seruan nafas yang tertahan sebelumnya dihempaskan dengan lega. Matanya sangat terkoyak dengan rasa kantuk yang melanda. Dia memanggil para pelayan untuk menyiapkan gaun terbaiknya.
Di tengah waktu rias, Metty berbicara dengan sopan. Ia berkata, "Yang Mulia, maafkan kami karena kami tidak dapat membangunkan Anda dalam acara penyambutan pagi."
Tanpa permintaan maaf pun Eliza tahu, bukan salah para pelayannya tapi salahnya yang tidur bagai kuda. Dia menjawab dengan senyuman tipis, "Tidak apa-apa. Salahku karena terlalu lelah."
Tak berlangsung lama mereka menyelesaikan semua bagian penyempurnaan untuk menonjolkan kecantikan ratu.
Eliza menapaki sebuah kereta kuda ditemani ksatria penjaganya menuju ballroom di salah satu istana kerajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do I Become A Queen?
RomanceSemua ilustrasi dari pinterest Kesamaan alur, cerita, tokoh, dan tempat, murni ketidaksengajaan Ketika seorang pemuda tak berkekurangan bereinkarnasi menjadi seorang ratu sebuah kerajaan besar dan bersanding bersama seorang raja tiran yang ditakuti...