Kuda jantan hitam memacu dengan cepat menuju pengangsingan jalan. Ekspresi kaku dan kebingungan tak ayal membuat sebuah pertanyaan. Dia terpaku dan terkejut mendapat informasi yang diterimanya. Celah matanya mengungkit kenangan lama dan ekspresinya berubah dingin seperti balokan es yang sukar mencair.
'Bisakah aku mempercayai indera pendengaranku?'
Tali panjang yang menjuntai ia tarik dengan erat menjaga keseimbangan posisi di atas punggung kuda lalu mempercepat gerakannya menuju sisi ujung jalan.
Matanya mengukir pada satu batang pohon dan mengikat kuda pacunya lalu mengencangkannya. Pemandangan malam yang sepi para pengunjung tengah tak sadarkan diri di dalam bar kampung di sudut perkotaan.
Eliza memasukkan kata sandi yang sudah dia hapal di dalam kepalanya. Ia mengikuti lorong remang di bawah tanah, tak perlu membuka matanya, ia sudah tahu setiap sudut bagian di dalamnya.
Sebuah deratan pintu tua terbuka sebelum ia memegang pegangan pintu karat dan menampakkan sosok pria jangkung yang tak asing di matanya. Reflektor alaminya menyanjungi setiap struktur indah yang tertampil namun membisu dalam untaian kata.
Seutas kata-kata hangat mengiringi kedatangan gadis bersurai cokelat muda, sebuah uluran tangan menyambutnya. Ujung matanya mengamati dan menepis untuk menerimanya.
"Aku ingin berbicara denganmu."
Suaranya kaku dan dingin namun ekspresinya mencoba melembut. Eliza tak dapat menerjemahkan, seperangkat processor memutar ulang dan melambatkan kekuatan pemikirannya. Tak paham mengapa ia begitu kaku dan diam setelah mendengar runtutan informasi yang dia terima sebelumnya. Hanya satu fakta bahwa dia merasa linglung dan penasaran atas kebenarannya.
"Tentu, Nona. Silahkan masuk."
Eliza mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi di sudut ruangan. Ruangannya semakin meremang sepertinya tuan rumah tak memerhatikannya. Kemudian ia berkata, "Anda harus memperbaiki pencahayaan ruangan Anda, Tuan."
Sebuah gelakan ringan terdengar dari bibir pria yang saat ini duduk berhadapan dengannya.
"Ah, aku lupa dengan itu. Aku akan segera memperbaikinya, Nona."
Tak ada barisan khusus untuk membalasnya. Eliza mengalihan matanya pada pria yang sedang mencicipi sepotong cemilan di atas meja.
"Aku ingat bahwa Anda mengatakan seorang perempuan memanggil tuannya dengan sebutan Yang Mulia beberapa waktu lalu. Bisakah aku tahu ciri fisik perempuan tersebut?"
Netranya menatap Eliza kosong. Sepuluh detik berikutnya ia menjawab, "Ah, aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Hanya saja ia menggunakan pakaian yang sederhana."
Ujung matanya melengkung dan menyematkan seringaian tipis di bibirnya, "Anda sangat tertarik dengan orang itu. Apakah ada seseorang yang Anda kenal?"
Eliza menggeleng pelan ia menghela nafasnya berat dan panjang. Ia menjawab, "Tidak. Aku hanya penasaran."
Eliza menarik nafasnya lagi dan menyusun rangkaian kalimat untuk diucapkan, "Aku ingin memberikan sebuah penawaran padamu."
Vein mengaitkan sebelah alisnya, terlihat barisan kerutan tipis di dahinya. Ia bertanya dalam kebingungan, "Penawaran? Penawaran apa yang Anda tawarkan, Nona."
Pandangan yang dalam dan tampak dari matanya. Tak ada keraguan yang tersemat di dalamnya. Ia memberanikan dan menyebutkan sebuah penawaran khusus dan berani.
"Jadilah kaki tanganku."
Seringaian lebar tertaut di bibirnya. Hidungnya kembang kempis. Matanya mencekung sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do I Become A Queen?
RomanceSemua ilustrasi dari pinterest Kesamaan alur, cerita, tokoh, dan tempat, murni ketidaksengajaan Ketika seorang pemuda tak berkekurangan bereinkarnasi menjadi seorang ratu sebuah kerajaan besar dan bersanding bersama seorang raja tiran yang ditakuti...