Eliza kembali ke dalam ballroom untuk bertukar sapa dengan para aristokrat Huousseburg. Dia menikmati malam indahnya di balkon karena Ivan terus mendesaknya. Tidak sopan rasanya jika dia pergi begitu aaja tanpa sepatah kata pun. Sebagai perwakilan Moonariggh, kerajaan terbesar dan satu-satunya di benua barat. Dia harus melihatkan kebijaksanaannya dan penuturan agung yang membuat mereka segan akan kerajaannya.
Ketika Eliza datang, para bangsawan menyambutnya. Dia balik menyapa tuturan mereka yang menyapanya.
Tak berselang lama, pesta perayaan sudah mulai di pertengahan acara. Eliza tak mau berdansa dengan siapapun sehingga meminta Cain untuk menutup jalur siapapun yang ingin mengajakku berdansa.
"Yang Mulia sedang merasa kurang baik. Mohon pengertiannya, Yang Mulia Putra Mahkota." Jelas Cain menghadang Ivan yang menantikan Eliza menjadi teman dansanya.
"Yah, apa boleh buat. Lebih baik Eliza kembali ke ruangannya untuk beristirahat." Sahut Ivan pada Cain kemudian dia memanggil seseorang untuk mengantar Eliza ke pesta.
"Cain, kau tetap di sini. Awasi apa saja gerakan di ruangan ini." Bisik Eliza pada Cain kemudian dia bersama seorang pelayan berjalan meninggalkan aula.
"Baik, Yang Mulia." Ucap Cain menanggapi.
Di tengah perjalanan dia menuju ruangannya. Eliza meminta pelayan itu untuk membawanya ke toilet sebentar karena dia ingin membuang hajat tiba-tiba.
Pelayan itu yang mengantar Eliza menyanggupi dan membawa Eliza ke toilet mewah di dalam istana.
"Kau tunggu saja di saja." Eliza menunjuk sebuah pilar tinggi di sekitarnya.
Pelayan itu mengangguk, "Baik, Yang Mulia."
Kemudian Eliza tersenyum tipis padanya.
Setelah, dirinya keluar dari dalam toilet. Eliza meminta pelayan itu kembali saja karena dia tahu orang-orang pasti membutuhkannya untuk melayani perjamuan. Itu hanyalah alasan Eliza agar ia dapat bepergian sendiri di dalam istana.
"Apakah Yang Mulia tahu ruangan mana Anda tinggal?" Tanya pelayan muda itu pada Eliza.
"Tentu. Aku sudah dua hari tinggal di tempat ini. Aku sudah mengingatnya." Ujarnya cepat.
"Baiklah, Yang Mulia. Selamat malam." Pelayan itu membungkuk memberi hormat dan meninggalkan tempat itu ketika Eliza sudah membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan lorong luar aula.
Melihat sekelilingnya aman, Eliza mulai berjalan mengendap-endap. Dia ingin berkeliling sendiri dan menyelidikinya di saat semua orang sibuk di dalam pesta.
Di tengah perjalanan, dia menemuka sebuah taman luas di belakang istana yang sedang dia diami di Huoussenburg. Dia tak pernah berjalan-jalan selama dua hari dan memilih untuk tetap di kamar menghindari Ivan.
Eliza melihat satu per satu tanaman yang tumbuh di sana dengan cermat melihat hingga ke daun-daunnya dan mengingat berbagai macam tanaman yang pernah dia baca di bukunya.
"Memiliki duri runcing di tengah dan atas tangkai. Daunnya berwarna hijau dan sedikit kemerahan di ujungnya. Batangnya gemuk dan mengeluarkan bau menyengat beserta cairan merah di dalamnya. Bunganya merah seperti darah serta kelopaknya tebal."
Eliza menggumamkan ciri-ciri bunga yang paling dia ingat. Untuk mencarj tahu bahan utama pembuatan ramuan terlarang yang diberikan selirnya itu kepada Leon. Dia mengingat semuanya di luar kepala. Melihat belum ada satu pun tanaman yang sesuai dengan deskripsi yang dia ingat. Dia mencari satu per satu sampai ke bagian terkecil.
'Tempat ini sangat sepi. Mengapa tidak ada penjaga di sini.' Pikirnya namun tubuhnya sedang fokus menyelisik mencari tumbuhan merah itu.
Di bagian sisi lain, sebuah tanaman tertutupi dengan tanaman lain terlihat di netranya. Eliza terbelalak melihat tumbuhan merah di balik tumbuhan merambat di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do I Become A Queen?
RomansaSemua ilustrasi dari pinterest Kesamaan alur, cerita, tokoh, dan tempat, murni ketidaksengajaan Ketika seorang pemuda tak berkekurangan bereinkarnasi menjadi seorang ratu sebuah kerajaan besar dan bersanding bersama seorang raja tiran yang ditakuti...