Smile

847 86 1
                                    

Aku terbangun di sebuah kamar yang tidak asing namun aku tahu ini bukanlah kamarku. Aku mengingat struktur bangunan rumah ini. Ini adalah kediaman Kim. Entah sejak kapan aku tertidur atau mungkin-- aku tidak sadarkan diri? Ingatan terakhirku adalah aku sedang menahan rasa sakit yang terbakar di kedua tanganku. Setelahnya, aku tidak mengingat apapun. Saat ku terbangun, aku berada di kamar, dilengkapi dengan selimut dan-- seseorang memegang tanganku erat dan hangat.  Aku menoleh kepada seseorang yang sedang tertidur dalam posisi duduk di sebelahku. Ah, Leon yang memegangiku sedari tadi. Apakah dia datang setelah seseorang mengabarkan bahwa aku mungkin pingsan?

Aku tidak dapat  menahan senyum melihatnya sedang terlelap dengan deruan nafasnya yang tenang namun agak kasar. Aku bisa merasakan betapa lelahnya dia bekerja, melihat kantung mata hitam di bawah matanya, itu sudah cukup menjelaskan. Aku membelai surai hitamnya yang legam dengan lembut. Sepertinya, belaianku tidak cukup lembut hingga dia terbangun dalam beberapa detik kemudian dia membulatkan matanya menatapku. Tatapannya begitu nanar,  aku membalasnya dengan satu tarik senyuman.

"Apakah kamu pegal? Mengapa tidak tidur di sebelahku?" Ucapku lembut. Leon membelai pipiku halus dengan tatapannya yang sendu. Aku tidak mengerti, mungkinkah dia khawatir karena aku pingsan  tadi.

"Aku baik-baik saja. Mengapa kamu terlihat bersedih?" Sambungku mencoba mencari jawaban dari wajahnya.

Mendadak Leon memelukku erat, dia mencium tengkukku lembut, dia semakin mengeratkan pelukannya padaku. Aku hanya dapat meresponnya dalam diam. Sikapnya padaku sedikit rumit. Aku tidak mendapatkan jawaban meski aku mencoba mencari tahu. Leon saat ini hanya diam sembari memelukku.

Dalam beberapa saat kemudian, Leon membuka mulutnya, dia mengucapkan beberapa kata yang membuatku terlonjak. Sembari menarik manik-manik indahnya, aku mendapat sebuah ketakutan dari sorotannya.

"Jangan pernah tinggalkan aku, Eliza."

Aku mengerutkan kening dan bertanya padanya, "Apa yang kamu katakan, Leon? Aku di sini.  Aku tidak meninggalkanmu."

Leon semakin mendekatkan wajahnya padaku, dia menatapku penuh dengan harapan. "Berjanjilah jangan pernah tinggalkan aku."

Apa yang dia katakan? Mengapa dia beranggapan bahwa aku akan meninggalkannya? Apakah saat tertidur aku menggumamkan sesuatu di dekatnya? Aku mencoba mengingat. Namun, aku benar-benar tidak mengingat apa-apa.

"Leon, aku tidak akan meninggalkanmu. Lihatlah, aku masih ada di sini bersamamu." Tuturku penuh dengan keyakinan.

"Berjanjilah apapun yang terjadi jangan pernah tinggalkan aku. Aku-- aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Eliza."

Ucapan Leon terdengar begitu putus asa. Meski aku tidak tahu mengapa dia dapat berpikir seperti itu. Aku kembali mengusap punggungnya lembut dan memberikan dia kenyamanan.

"Aku janji. Aku tidak akan meninggalkanmu."

Leon  melepaskan pelukannya padaku setelah dirinya merasa lebih tenang. Sorot matanya yang sendu kembali memudar. Aku melihat bola matanya yang jernih dan bulu matanya berkibar tertiup angin.  Aku menyukainya yang tenang meski cenderung dia bersikap lebih dingin.

Aku meminta Leon mengambil segelas air di nakas kecil sebelahku. Tanpa perlawanan, Leon mengambilkannya dan sedikit mengangkat  tubuhku hingga aku  dapat merasa detakkan jantungnya. 

Leon membantuku untuk minum,  dia begitu hati-hati memberikan reaksinya padaku. Setelahnya, ia mengembalikan gelasnya yang sudah setengah habis ke nakas kecil. Dia menawari sebuah anggur, namun aku menggeleng pelan. Lidahku masih terasa pahit dan nafsu makanku menurun.  Leon  mengambil sesuatu dari kantung kemejanya. Sebungkus makanan berbentuk bulat yang pernah dia berikan padaku. Dia memberi bola permen itu saat dia berkunjung ke dalam ruanganku melalui jendela yang dia pecahkan.

Do I Become A Queen?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang