"Lo berdua kok pergi nggak ngajak-ngajak si? Bosen tahu di sini sendirian."
"Lhah, bukannya ada Bara?"
"Dia juga pergi. Nggak tahu deh ngilang kemana tuh bocah,"
"Kalian pergi kemana si? Kok mukanya Alan jadi bonyok gitu?"
"Ah sakit Cha, pelan-pelan dong lo." Sembur Alan saat Alisya menempelkan kapas dengan rasa dingin di pipinya.
"Keluar, niatnya cari angin. Eh malah lihat orang berantem. Ni si Alan yang ngelerai, kena tonjok deh tuh,"
"Siapa yang berantem."
"Pak- Anjir. Sakit bangke." Umpat Alan saat Alisya menginjak kaki kirinya dengan sengaja. Mata gadis itu sedikit melotot.
"Nggak tahu juga, orang asing, Kan," jawab Alisya setelahnya. Mulut Alan memang sangat berbahaya.
Mereka menyewa sebuah homestay dengan dua kamar yang langsung menghadap bibir pantai. Kania dan Alisya tidur satu kamar, sama halnya juga dengan Alan dan Bara.
Dua hari bersama Kania membuat Alisya kesal. Kepribadian gadis itu membuat Alisya harus menarik napas panjang untuk bersabar. Mereka sangat berbanding terbalik.
Kania si gadis manja yang sangat bawel sedangkan Alisya si gadis mandiri yang tidak suka keributan. Rasanya lebih baik dia bersama dua teman laki-lakinya daripada bersama Kania. Kania sangat menyebalkan.
Tiba-tiba pintu dibuka, memunculkan sosok bara yang berjalan ke arah mereka dengan sweater yang menyampir di pundaknya.
"Kenapa lo Lan?" Tanya Bara dengan kening mengkerut. Lelaki itu mengambil duduk di sebelah Kania.
"Urusan cowo,"
"Gaya lo. Di kota orang mending nggak usah buat masalah deh, ribet."
"Gue nggak- si anjir, sakit bangke." Sembur Alan lagi ketika Alisya menekan lebam di pipinya.
"Mulut lo mau gue cabein Lan? Pedes banget. Masih untung gue mau ngobatin." Maki Alisya seketika dengan wajah cemberut.
"Lo dari mana si Bar? Kok gue ditinggalin sendirian?" Tanya Kania.
"Lhah, gue keluar."
"Kenapa nggak ngajak-ngajak? Setidaknya tanya gitu, gue mau ikut apa enggak? Bukannya ditinggalin sendirian."
"Males banget nanyain lo."
Kania mencebik bibir. Rautnya murung dengan wajah memerah.
"Besok keberangkatan jam satu ya, gue udah pesenin tiketnya nih," sahut Bara.
Bara langsung beranjak ke kamarnya. Meninggalkan tiga temannya di ruang tamu. Alan masih menahan ringisan akibat pukulan tadi.
Alisya tidak habis pikir dengan Anna. Bisa-bisanya dia menyembunyikan kebenaran besar sampai selama itu. Alisya tidak pernah mengira kalau perhatian kecil yang Adam tunjukkan memiliki arti yang sangat besar.
Alisya sering menangkap basah Adam yang tengah memerhatikan Anna di kelas. Tatapannya juga sering mengarah pada Annandhita saat menjelaskan. Seolah bertanya 'Apa kamu sudah mengerti?'.
Entahlah rasanya masih seperti mimpi. Apalagi melihat Adam yang sampai babak belur begitu karena melindungi Anna.
"Eh mau kemana lo? Masih sakit nih pipi gue." Seru Alan saat melihat Alisya yang tiba-tiba bangun dan langsung keluar. Jangankan menjawab, menengok saja Alisya malas.
"Kan, tolong beresin ya, gue mau nyusul Icha bentar," ucap Alan buru-buru bangkit dan menyusul Alisya keluar. Tak menunggu persetujuan Kania.
Alisya melepas sendal slopnya di luar rumah. Berjalan pelan menyusuri bibir pantai dengan kaki telanjang. Gadis itu bergidik karena sapuan angin malam yang lumayan kencang. Ombak air pantai berdebur dengan tenang menyapu kulit kakinya.
"Kenapa nggak jujur aja biar semuanya tahu?"
Alisya menengok sekilas lalu kembali memfokuskan pandangan pada lautan gelap di depan sana.
"Jangan Lan, kasian Anna."
"Kenapa? Gue pikir kalo dia bener istrinya Pak Adam malah dapet nilai plus."
"Plus gundulmu. Apalagi kalo Kania sampai tahu, lo tahu sendiri dia suka sama Pak Adam segimanya."
"Biar sekalian aja Kania tahu Cha. Biar dia juga berhenti berharap. Kasian juga kalo ngarep tapi ujung-ujungnya nggak bakal kesampaian."
"Dampak negatifnya gimana?" Alisnya membenarkan ikatan rambutnya yang berantakan karena tertiup angin.
"Kania bisa nekat. Apalagi cewe yang suka sama Pak Adam bukan cuma dia doang. Bisa aja dia di bully karena nggak terima." Lanjutnya.
"Lo udah tanya Anna lagi?"
"Udah di chat tadi. Katanya kalo ketemu mau dijelasin. Tapi jangan bilang-bilang Kania sama Bara. Mulut lo tuh harus dijaga bener-bener biar nggak keceplosan. Ember banget punya mulut."
Alan hanya manggut-manggut sambil mengikuti langkah kaki Alisya yang membawa mereka semakin jauh dari homestay. Hanya lampu remang-remang yang menjadi penerang.
"Cha, kenapa air putih itu disebut putih, sedangkan kalo susu putih juga disebut susu putih?" Tanya Alan setelah keheningan yang menyelimuti keduanya beberapa lama.
Satu alis Alisya terangkat. "Kenapa lo nanya gue?"
"Lo kan anak Einstein," kekeh Alan. Sedangkan Alisya berdecak sebal.
Mendapat julukan anak Albert Einstein bukan kemauannya. Alisya sama sekali tidak suka dengan julukan itu. Dari SMP sampai kuliah julukan itu terus melekat dengan diri Alisya Salsabila.
"Jawab atuh Cha, otak gue nggak nyampe," desak Alan kembali terkekeh.
"Gue nggak tahu."
"Gue butuh jawaban bukannya nggak tahu,"
"Gue beneran nggak tahu Banu Alan Saputra." Alisya ingin menenggelamkan Alan ke dasar laut. Manusia di sampingnya itu sangat menjengkelkan. Tapi entah kenapa Alan tidak pernah bosan mengganggu gadis itu. Setiap hari ada saja kelakuan gilanya untuk mengusili Alisya.
Alan menghembuskan napas pelan. Ia melepas jaket kulit hitam lalu memakaikannya di pundak Alisya. Membuat gadis itu berjengit kaget. Sedang tubuhnya hanya dibalut kaos hitam pendek dan celana panjang.
"Dingin Cha," ucapnya saat alisya mengambil jaket Alan. Berniat mengembalikan jaket itu pada pemiliknya.
"Iya, makanya gue balikin."
"Gue nggak suka penolakan. Pake." Seru Alan yang membuat Alisya menghela napas panjang, menurut. Memakai jaket Alan di tubuhnya.
"Makasih." Ucap Alisya sangat lirih, nyaris tak terdengar di telinga Alan.
"Coba aja ada Anna, mesti tam-"
"Nggak usah ngomongin orang lain, cuma kita disini." Sela Alan membuat Alisya diam. Entahlah, nada bicara Alan terdengar berbeda. Alhasil Alisya hanya menurut.
"Kenapa lo ngikutin gue?" Tanya Alisya dalam kesunyian. Hanya deburan air laut yang saling bersahut-sahutan.
"Nggak tahu juga," Alan mengedikkan bahu, acuh.
Melangkah gontai, menyusuri bibir pantai. Entah sadar atau tidak, mereka telah jauh dari penginapan. Penerangan pun semakin minim. Jarak satu lampu dengan lampu berikutnya sekitar lima meter. Tak jarang juga ada lampu yang mati.
Hiii kembali lagi nih sama ceritaku
Maaf ya kalo yang tiga part kemarena keacak, aku juga nggak paham
Udah tak perbarui berkali-kali tapi masih kayak gitu
Ngga tahu juga yang part ini bakal keacak apa ngga, pertama tak simpan masih aman soalnya
Oh ya,
Gimana part ini menurut kalian?
Aku malah nge-ship Alan sama Icha, gemes
Udah segitu dulu ya dari aku,
Kalo ada typo tolong tandain yaaa
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen [ SELESAI ]
Random"Saya nggak mau tidur sama Bapak." "Saya bukan Bapak kamu." "Tapi Bapak udah tua, om-om. Saya nggak mau tidur sama om-om." "Yasudah silahkan tidur di bawah, saya tidak memaksa." Kehidupan tenang Adam harus terusik karena kedatangan gadis yang sama s...