"Mamamu udah masak banget banget tuh di bawah, turun ya, nanti Papa suapin,"
Gadis itu masih diam. Memandangi jalanan komplek dengan tatapan kosong. Matanya tampak sangat sendu.
"Sheil, turun ya, ayo, Papa suapin, makan yang banyak biar cepet sembuh," Pak Seto menggenggam jemari dingin anak gadisnya. Namun tak ada respon sedikitpun dari si empunya tangan.
Setengah jam sudah Pak Seto membujuk Sheilla agar ikut makan malam. Putrinya sudah dua hari tidak makan. Wajahnya sangat pucat dengan tubuh yang makin kurus. Penampilan gadis itu sangat berantakan.
"Sheil, makan—"
"Nggak laper Pa," lirihnya tanpa mengalihkan fokus.
"Nanti sakit kalau nggak laper terus, sedikit saja, Papa yang suapin, makan ya,"
Sheilla kembali menggeleng. Bibir pucatnya dipaksa untuk melengkung. "Nanti kalau laper, Sheilla pasti makan. Papa duluan saja, sama Mama sama Bimo,"
Pak Seto menunduk dalam. Menyembunyikan kesedihan yang merundung dirinya. Sungguh hatinya sangat sakit melihat keadaan Sheilla sekarang.
"Janji ya, nanti kalau laper harus makan, bilang sama Papa, biar Papa suapin," katanya lantas mengecup lama kepala Sheilla. Mengelus surai hitam yang berantakan itu dengan sabar.
Lelaki paruh baya itu berdiri di samping kursi roda putrinya. Ikut memandangi jalanan beberapa saat sebelum suara ribut-ribut membuatnya berbalik. Sudah ada istri dan anak lelakinya yang yang kompak menggotong meja ke balkon. Menyusulnya dan Sheilla.
"Mama mau ngapain?" Tanya gadis itu pada ibunya.
"Kita makan malam disini boleh kan Mbak, sekalian cari udara segar," jawab Bimo dengan semangat. Cowo jangkung itu memamerkan deretan gigi putihnya.
Ah, mungkin tepatnya dia juga sedang membujuk Sheilla agar mau makan.
Sheilla mengangguk pelan. "Boleh, tapi apa nggak repot bawanya?"
"Enggak kok Mbak. Mbak Sheilla jagain mejanya aja ya, biar nggak digotong semut. Aku, Mama sama Papa mau ambil makanannya di bawah," jawab pemuda itu lagi sambil menggandeng tangan kedua orang tuanya.
Bibir Sheilla kembali melengkung. Namun tak lama setelah orang tua dan adiknya pergi, gadis itu kembali murung. Ingatannya selalu jatuh pada Adam. Sosok tampan yang membuat hatinya hancur.
Sheilla kira hubungannya dengan Adam akan berakhir seperti yang ia harapkan. Sheilla sembuh lalu mereka menikah dan mempunyai keluarga kecil yang bahagia.
Namun harapan indah itu harus Sheilla tepis jauh-jauh. Hubungan mereka bahkan sudah berakhir. Adam mengkhianatinya dengan perempuan lain. Dan selama ini dirinya terus saja dibohongi dengan bualan-bualan menyesakkan.
Air mata Sheilla meluncurkan bebas membasahi pipi. Membuat pandangannya mengabur. Gadis itu mengusap pipinya dengan kasar.
Sesak, sangat sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen [ SELESAI ]
De Todo"Saya nggak mau tidur sama Bapak." "Saya bukan Bapak kamu." "Tapi Bapak udah tua, om-om. Saya nggak mau tidur sama om-om." "Yasudah silahkan tidur di bawah, saya tidak memaksa." Kehidupan tenang Adam harus terusik karena kedatangan gadis yang sama s...