"Saya nggak mau tidur sama Bapak."
"Saya bukan Bapak kamu."
"Tapi Bapak udah tua, om-om. Saya nggak mau tidur sama om-om."
"Yasudah silahkan tidur di bawah, saya tidak memaksa."
Kehidupan tenang Adam harus terusik karena kedatangan gadis yang sama s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tepat satu bulan Sheilla dirawat di rumah sakit. Berat badannya semakin menyusut. Gadis itu terlihat sangat kurus dengan kantong mata yang membesar. Juga beberapa jerawat yang membuat wajahnya semakin terlihat tak terurus.
Sheilla memandangi wajahnya lewat pantulan cermin.
"Aku udah nggak cantik ya Pa?" Tanya gadis itu sendu.
Pak Seto yang tengah mengupas jeruk terlihat bingung. Keningnya sampai berlipat-lipat mendengar pertanyaan anak gadisnya. "Kata siapa?"
"Anak Papa selalu cantik, nak," lanjut Pak Seto sebelum memasukkan buah jeruk ke dalam mulutnya.
"Tapi Adam kenapa berubah? Adam keberatan ya kalau aku kayak gini? Adam malu Pa karena pacarnya nggak bisa jalan?"
"Shuuttt, heh kenapa malah ngomong gitu. Nggak boleh ah, Papa nggak suka denger kamu ngomong kayak gitu," tegur beliau.
"Tapi sikap Adam berubah Pa, Adam udah nggak sayang lagi ya sama aku?"
"Kata siapa Adam sudah nggak sayang lagi sama kamu, Adam sayang kok sama kamu,"
"Tapi dia berubah Pa, Adam beda. Semenjak aku pulang Adam udah berubah."
"Mungkin karena banyak pekerjaan Sheilla, Adam lelaki yang baik, dia sayang sama kamu. Papa lihat dia juga tanggung jawab dan bisa Papa percaya buat ngejagain kamu."
"Tapi Pa, dulu aku pernah denger suara cewe pas lagi teleponan sama Adam."
"Cewe? Maksud kamu Adam selingkuh?"
Sheilla mengedikkan bahunya. "Nggak tahu,"
"Adiknya mungkin Sheil, atau temennya,"
"Adam nggak punya adik cewe, pas aku tanya dia bilangnya temen. Tapi masa cuma temen si Pa,"
"Sheilla, dalam hubungan itu yang dipentingin saling percaya. Hubungan apapun, kalau kamu nanti sudah menikah, kamu harus bisa percaya sama Adam. Kamu nggak boleh nuduh dia yang enggak-enggak kalau kamu sendiri nggak tahu kebenarannya."
"Kalau kamu mau tanya, silahkan tanya, tapi jangan pernah kamu nyudutin. Kalau kamu mau selidikin juga tidak apa-apa, yang penting jangan sampai nyudutin Adam."
Sheilla menunduk. "Adam udah ke Jogja sebelum aku kecelakaan, dia juga buat snap sama tangan cewe. Tapi Adam nggak ada kasih tahu aku apapun, bilangnya sibuk terus. Pas aku mau ketemu sama dia buat nanyain itu, aku malah kecelakaan. Aku harus gimana Pa?"
"Kamu jangan gegabah nuduh Adam, Sheil, Papa percaya sama dia. Semenjak dia tahu kamu kecelakaan, Adam nggak pernah absen seharipun buat jengukin kamu, kecuali pas dia bener-bener ada urusan."
"Iya, Sheilla percaya kalo itu. Tapi kemaren dia bilang nggak bisa sama-sama terus sama aku,"
"Alasannya?"
"Nggak bisa nentang takdir Tuhan. Nggak ada yang tahu kalau kita jodoh atau tidak. Sheilla nggak bisa Pa kalau nggak sama Adam."
Pak Seto tersenyum tipis lantas mengusap rambut anak gadis satu-satunya. "Ya kalo itu memang benar, Papa juga setuju,"
"Ih Papa mah, Sheilla nggak bisa kalau nggak sama Adam."
"Sudah, sudah, jangan terlalu dipikirin. Mau tahu berita baik nggak dari Papa?"
"Berita baik apa?"
"Kata dokter, kaki kamu udah membaik dan besok udah dibolehin pulang, tapi tetep harus—"
"Besok Pa?" Seru Sheilla.
Pak Seto mengangguk semangat. "Iya, besok. Kamu udah nggak betah kan disini?"
Sheilla mengangguk. Kedua bibirnya mengembang sempurna. Sungguh ia sangat senang.
Sheilla sudah sangat tidak betah di tempat ini. Setiap hari yang ia lihat hanya ruangan serba putih dengan alat-alat medis. Pun dengan bau obat yang menyengat dimana-mana. Sheilla bosan.
"Kabarin Adam ya,"
"Iya, biar Sheilla aja yang ngomong,"
[ PAK DOSEN ]
"Gue kemaren lihat lo di rumah sakit, ngapain? Siapa yang sakit?"
"Jam berapa? Kok gue nggak lihat?"
"Gue mau manggil, tapi lo nya udah keburu masuk ruang perawatan, nggak enak kalo gue mau ikutan masuk. Udah sore si, sekitar jam setengah lima mungkin, emang siapa yang sakit? Istri lo? Tapi kok gue lihat dia masuk tadi," cerocos Rian.
Adam membuang napas kasar. "Bukan, Alhamdulillah istri gue sehat."
"Terus yang sakit siapa? Setahu gue, keluarga lo sama keluarga istri lo kan di Jogja semua,"
"Iya, tapi yang sakit Sheilla,"
"Sheilla? Sheilla mantan lo yang kuliah di luar negeri itu?" Rian nampak tak percaya.
Adam mengangguk. "Hm, dia kecelakaan. Sempet koma juga,"
"Lo cuma jenguk kan?"
"Iya, emangnya ngapain lagi?"
"Lhoh bukannya lo juga bawa buket bunga ya? Apa mata gue aja yang konslet,"
"Iya, gue juga bawa bunga,"
Rian menyedot lemon tea yang ia pesan dengan serakah. Lelaki berkemeja maroon itu tersedak kuah bakso pedas yang sedang ia makan.
"Baca do'a Ri,"
"Udah dalam hati. Eh tapi seriusan, lo nggak lagi main api kan?" Alis Adam nampak mencuram. "Maksud gue, lo sama Sheilla kan pernah ada hubungan, apa istri lo nggak marah Dam?"
Adam melirik teman seprofesinya dengan malas. Rian kadang-kadang juga ketularan sifat kepo Ibnu, adiknya. Banyak bertanya hal yang tak seharusnya.
"Bingung gue,"
"Bingung gimana? Lo yang bener Dam, jangan main-main. Kasian istri kalo lo beneran selingkuh. Cantik gitu, mending buat gue aja kalo nggak mau, jangan diseling—"
"Gue timpuk sepatu juga lo ngomong kayak gitu sekali lagi." Kesal Adam sambil menjitak kepala Rian. Lelaki itu nampak kesal.
"Ngomong apaan? Emang bener kan gue, kasian istri kalo lo selingkuh. Lagian lo udah nikah, ngapain coba kalo cuma jenguk doang segala pake bawa bunga?"
"Eh tapi Sheilla nya udah sadar kan?" Sambung Rian penasaran.
"Udah,"
Adam memijit pelipisnya, merasakan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Lelaki itu meneguk teh hangat yang tadi ia pesan. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa Adam sering sekali merasakan pusing dan mual di waktu yang bersamaan?
"Gue ke toilet dulu Ri," Adam buru-buru bangkit, berlari kecil menuju toilet. Lelaki itu menunduk, mengeluarkan isi perutnya yang selalu sama, cairan bening mirip seperti lendir. Membuat kerongkongannya terasa pahit.
Adam membasuh wajahnya dengan air dingin lalu berkumur beberapa kali. Sungguh ini tidak seperti masuk angin pada umumnya. Sudah lebih dari seminggu Adam seperti ini. Namun ia juga enggan untuk memeriksakan diri seperti perintah Anna, istrinya.
Hampir setiap pagi perempuan itu mengikuti Adam ke kamar mandi. Memijit tengkuknya untuk membantu mengeluarkan isi perut Adam. Anna selalu memberengut kesal kala Adam bermanja-manja dengan dirinya. Menganggu acara bersih-bersih rumahnya. Merecokinya dengan berbagai pertanyaan unfaedah. Lalu berakhir dengan Adam yang tertawa puas karena melihat rona merah yang tercipta di pipi perempuannya.
Adam suka.
Adam tersenyum geli melihat wajah Annandhita yang terpantul di cermin toilet. Huh, jiwa dan raganya memang sedang kurang sehat. Mana mungkin Anna ada disini, masuk kedalam toilet laki-laki. Ada-ada saja dirinya.