Selama tiga hari, orang-orang Voltaire merayakan kelahiran negara mereka dengan festival yang sangat besar. Jalanan dipenuhi dengan musik ceria sepanjang hari. Para pedagang dari seluruh negeri berkumpul di ibukota dengan harapan mendapatkan lebih banyak keuntungan. Ada satu komoditas yang biasa dijual, patung kecil Eric Maha Agung, raja Voltaire pertama. Senyum dan tawa, bahkan tarian dapat dilihat di setiap sudut.
Lyria mengerutkan kening pada kebahagiaan mereka. Perasaan tercekik menyebar di dadanya saat dia melihat seorang anak tersenyum cerah ketika dia menerima patung yang terkenal itu. Negara ini menolak untuk membantu negara lain yang sangat membutuhkan padahal Tollyria telah sangat membantu Voltaire sebelumnya. Negara ini, yang tidak peduli bahwa dunia dipertaruhkan. Negara ini melihat Lyria hanya sebagai boneka untuk mendapatkan kekuatan Tollyria.
Rasa asam telah naik kembali ke tenggorokan Lyria. Perutnya bergejolak. Rasa panas menyelubungi tubuhnya. Sebelum dia merasakan dorongan untuk muntah, dia memalingkan muka dari jendela.
Namun kemudian mata Lyria melihat dirinya di cermin mengenakan gaun berwarna krem yang dipilih Madam Gina untuknya. Lyria sebenarnya berpikir bahwa warna itu cocok untuk kulit putih dan rambut berwarna madu miliknya. Para pelayan telah mengepang rambut Lyria ke satu sisi, dihiasi oleh mutiara dan debu perak. Tiara kecil nan elegan duduk sempurna di kepalanya.
Lyria menatap wajahnya sendiri. Madam Gina selalu menggerutu bahwa kulit Lyria terlalu putih baginya untuk rias. Pada akhirnya, Madam Gina hanya menaruh bubuk merah di bibir Lyria dan tinta hitam yang mengikuti garis matanya.
"Tak satu pun bedak cocok dengan warna kulit Anda, jadi Anda harus menggunakan kulit alami Anda saja," kata Madam Gina.
Lyria tidak menjawabnya. Lagipula dia tidak tertarik untuk menyenangkan mata para bangsawan Voltaire. Apalagi pesta dansa itu berupa pesta dansa masquerade. Semua peserta pesta dansa akan memakai topeng dekorasi untuk menutupi wajah.
Kendati demikian, saat Lyria menatap bayangannya sendiri, perasaan aneh menghigapinya. Dia merasa seperti melihat orang asing yang mengenakan kulitnya sendiri. Dia tidak bisa melihat jejak gadis yang ia kenal di balik wajahnya. Lyria menggigit bibirnya sendiri karena itu.
Ia terlihat tak bernyawa dan kurus.
Apa yang bisa kau lakukan sendiri? tanyanya pada bayangan di cermin.
Tidak berguna.
Ketukan di pintu mengembalikannya ke realita.
"Lyria?" Marquis Bollein muncul dari balik pintu. Pria tua itu mengenakan rompi hitam dengan dasi beludru. Dia telah memangkas janggutnya, menghasilkan tampilan yang rapi untuk seorang pria paruh baya.
Pria itu berhenti untuk melihat seluruh penampilan Lyria. Pupil matanya bergetar sedikit. "Kamu terlihat seperti bibimu," katanya.
Nada suaranya terdengar lemah tapi penuh rasa sayang. Melihat sisi pamannya ini, Lyria memaksakan senyum di bibirnya.
"Apakah dia cantik?"
" Lebih baik," jawab pamannya tegas."Dia menawan. Menikahinya adalah pilihan terbaik dalam hidupku."
Duri telah menusuk hati Lyria ketika pamannya mengucapkan kata-kata itu. Marquis Bollein menikahi bibi Lyria, seorang tuan putri Tollyria. Meskipun tidak sesuai standar kecantikan di Voltaire, pamannya selalu menganggap bibi Lyria sebagai yang tercantik. Dada Lyria terasa tercekik saat dia memikirkan bagaimana bibinya meninggal muda karena sakit.
Marquis Bollein menawarkan sapu tangannya kepada Lyria. Melirik pamannya dengan hangat, orang satu-satunya di sisi Lyria di negari yang kejam dan berprasangka, Lyria meraih lengan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dawnless Saga
FantasyEmpat gadis terperangkap dalam kegelapan mereka masing-masing ketika iblis datang ke dunia. Satu adalah seorang Tuan Putri yang gagal, yang lemah, yang tidak bisa memimpin rakyatnya. Satu adalah seorang Pembunuh Merah dengan kecantikan luar bia...