Naga itu mengerutkan kening pada pesan darah di depannya di dekat penghalang. Mayat rusa ditemukan di dekat tulisan itu. Tubuh rusa sudah menjadi kaku.
Pesan itu tergeletak di lantai hutan dan berbunyi: "Halo, Raja." Meskipun gelap, sebagian besar makhluk memiliki penglihatan malam yang tajam. Terutama, Arkan.
"Apakah menurutmu ini ulah penyihir itu?" tanya Melvis. Kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya.
Melvis dan beberapa ksatria lain sudah berkumpul di sekitar pesan sebelum Arkan tiba.
"Kau yakin tidak melihat siapapun, Paul?" tanya Arkan alih-alih menjawab Melvis. Dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Paul menggelengkan kepala. "Tidak, Yang Mulia." Dia menambahkan, "Saya hanya mencium bau darah."
Lyria.
"Melvis, aku ingin kamu menyampaikan pesan kepada semua kesatria. Semua bertugas berjaga malam ini. Tidak ada istirahat sampai kita yakin penyihir itu tidak dekat," pesan Arkan.
"Ya, Yang Muli," Melvis kemudian menambahkan, "Bagaimana dengan kesatria Tollyria itu?"
"Satu penjaga sudah cukup baginya. Tapi pastikan penjaga itu tajam dan selalu waspada. Kesatria itu bisa saja adalah orang yang membawa penyihir ke hutan setelah bertahun-tahun lamanya."
"Jangan dalam keadaan apa pun," kata Arkan dengan kelambatan dan penekanan yang disengaja pada setiap kata, "membocorkan hal ini pada Lyria." Melvis dan para kesatria lainnya membungkuk dalam-dalam.
"Ya, Yang Mulia," kata mereka serempak.
Tanpa menanggapi, Arkan segera terbang ke langit. Dia harus kembali ke Lyria. Entah bagaimana, dadanya terasa sesak dengan tidak nyaman. Ketika dia sampai di lapangan terbuka itu lagi, dia lega melihat Lyria masih duduk di atas batu besar. Lyria sedang menunggunya.
Arkan mendarat di dekat Lyria dan segera melihat sekeliling. "Di mana Cecil?" Arkan bertanya. Lyria mengangkat bahunya acuh tak acuh.
"Kucing sialan itu!" Arkan mengutuk. Dia meninggalkan Lyria sendirian!
Kemudian Arkan mengunci mata dengan Lyria. Mata birunya menghujani Lyria dengan rasa khawatir, "Kamu tidak melihat siapa pun, kan?" dia bertanya.
"Tidak...," jawab Lyria. Suaranya kecil. "Arkan, apa yang terjadi dengan penghalang?"
"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," kata Arkan. Namun begitu dia melihat luka di mata Lyria, dia menyesali kata-kata itu.
"Jangan perlakukan aku seperti itu!" bentak Lyria. "Jangan biarkan aku dalam kegelapan tak tahu menahu seperti orang bodoh... "
Arkan bingung apa yang harus dilakukan. Dia segera meminta maaf, "Maaf, Lyria." Berulang kali. "Maaf."
Akhirnya, Arkan menyerah. "A–ada pesan di dekat penghalang. Kami pikir itu dari penyihir. Jadi, kita tidak aman di sini. Kita harus pulang."
***
Pulang?
Beberapa saat yang lalu, kata 'pulang' yang berasal dari Arkan tidak akan terdengar begitu menjijikkan di telinga Lyria. Kata 'pulang' bahkan akan terdengar manis bagi Lyria.
Sekarang kata itu membuat Lyria jijik bahwa dia pernah menganggap goa tempat dia tinggal sebagai tempat untuk 'pulang.'
Beberapa saat yang lalu, dia akan selalu mempercayai mata berwarna topaz di depannya. Dia akan tenggelam di dalam pandangan birunya, bertanya-tanya bagaimana warna sedingin es bisa terasa begitu hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dawnless Saga
FantasyEmpat gadis terperangkap dalam kegelapan mereka masing-masing ketika iblis datang ke dunia. Satu adalah seorang Tuan Putri yang gagal, yang lemah, yang tidak bisa memimpin rakyatnya. Satu adalah seorang Pembunuh Merah dengan kecantikan luar bia...