Cahaya hari itu telah pecah menjadi guratan garis ungu dan oranye di langit. Tapi Lyria tidak dapat melihatnya karena dia berada di dalam gua batu. Dia memeluk dirinya sendiri di salah satu tepi tempat tidur. Menyelipkan tubuh kecilnya di bawah selimut hangat.
Hari ini masih pertengahan musim panas, tetapi malam tetap saja dingin sekalipun ada api yang menyala di perapian.
Lyria merasa lemah. Namun meski para peri mulai menangis, dia tidak akan beranjak dari tempat tidur. Ya... Lyria berasumsi mereka menangis. Karena mereka membuat suara merintih begitu banyak sehingga dia harus menutupi telinganya untuk memblokir suara itu.
Pada saat yang sama, perutnya mulai menggerutu.
"Kelaparan itu hanya sebuah pemikiran," kata saudari perempuannya yang bernama Nakia. Sebelum Nakia datang ke istana, dia adalah putri dari klan pemburu di sebuah gurun. Klannya memiliki ketidaksukaan terhadap sihir dan makhluk magis apa pun. Mereka menganggap penyihir dan siapapun yang memiliki magis sebagai perwujudan dari iblis. Ketika Nakia secara tidak sengaja menunjukkan kekuatannya untuk menyelamatkan seorang anak laki-laki, klan Nakia menguncinya dan membuatnya kelaparan. Ayahnya sendiri ingin membunuhnya saat itu. Tapi ibunya, putri dari pemimpin klan, berjuang agar Nakia tetap dibiarkan hidup. Akhirnya, nyawa Nakia terselamatkan. Namun dia diusir dari klan.
Nakia baru berusia dua belas tahun ketika dia harus mulai berjuang sendiri di padang pasir yang kejam. Ayah Lyria menemukan Nakia dalam sebuah misi pengawasan perbatasan. Nakia mencoba mencuri pedang ayah Lyria yang berharga.
Ayah Lyria, Rob, selalu memiliki titik lemah untuk anak-anak kecil yang harus berjuang sendiri. Mereka membuat Rob memikirkan putrinya sendiri. Jadi, Rob menawarkan Nakia tempat tinggal di istana.
Nakia dapat berteleportasi dengan jarak terbatas, membuatnya cepat menjadi mata-mata Tollyria yang berharga. Namun, dia tidak bisa berteleportasi melintasi lautan. Sangat disayangkan, Lyria seringkali berpikir selama tinggal di Voltaire. Kalau saja Nakia bisa berteleportasi melintasi benua.
"Apakah kau tahu bagaimana rasanya kelaparan itu?" Nakia bertanya pada hari pertama dia bertemu Lyria. "Kelaparan hanyalah sebuah sensasi. Begitu kau terbiasa dengan perasaan itu, sensasi itu menjadi kebiasaan, sesuatu yang sudah lazim."
Memikirkan Nakia membuat Lyria semakin merindukan saudari-saudari perempuan dan negaranya. Ya, untuk Tollyria... untuk saudari perempuannya, Lyria tidak peduli bila dirinya kelaparan. Dia akan melakukan apa saja untuk kembali kepada mereka.
Satu hari pasti hampir berlalu ketika para peri mulai merasa lelah dengan rengekan mereka sendiri. Tubuh mereka sedikit membungkuk, pundak mereka seakan jatuh dalam kekalahan ketika sadar tangisan mereka tidak akan membuat Lyria berubah pikiran. Namun mereka masih melayang di dekat Lyria, seolah menjaganya dengan aman. Cahaya-cahaya mereka yang redup indah untuk dilihat dalam kegelapan gua.
Segera, mata Lyria menjadi berat. Tidur hampir saja menghampirinya jika saja dia tidak mendengar dentuman berat yang tiba-tiba muncul dari luar. Sebelum Lyria dapat duduk, pintu kamarnya sudah hancur berkeping-keping. Serpihan kayu terbang ke segala arah. Lyria dan para peri harus menutupi mata mereka sehingga debu kayu tidak masuk ke mata. Kemudian dentuman besar lainnya terdengar, mengguncangkan hampir satu gua.
Awalnya, Lyria mengira itu adalah gempa bumi. Namun getaran itu tidak terus menerus. Sebaliknya, getaran gua mengikuti ritme sosok bersisik hitam yang menghantam dirinya sendiri ke dinding batu. Arkan mencoba meruntuhkan dinding batu kamar Lyria untuk masuk. Dan dia berhasil setelah hantaman ketiga. Batu itu retak dan jatuh menjadi potongan-potongan kecil yang berserakan di bawah tempat tidur Lyria.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dawnless Saga
FantasíaEmpat gadis terperangkap dalam kegelapan mereka masing-masing ketika iblis datang ke dunia. Satu adalah seorang Tuan Putri yang gagal, yang lemah, yang tidak bisa memimpin rakyatnya. Satu adalah seorang Pembunuh Merah dengan kecantikan luar bia...