Ep 10: Pria Terakhir yang Menangis

609 145 12
                                    

Lyria menggelengkan kepalanya sedikit, mengusir pikiran-pikiran tak berdaya dari kepalanya. 

"Jangan bergerak," Madam Gina menggerutu. Wanita tua itu meraih rahang Lyria dan membetulkan posisi wajah Lyriaa agar tetap lurus menghadap cermin. Kuku Madam Gina menusuk kulit Lyria.

Entah dari mana, Lyria merasakan gelombang kemarahan muncul. Dia menatap kuat Madam Gina melalui pantulan cermin. Tatapannya yang biasa berubah seketika menjadi tatapan ganas. Madam Gina tersentak seolah-olah kulit Lyria telah membakar jemarinya. Seolah-olah api dimuntahkan dari mata hazel Lyria. 

"Madam Gina." Suara Lyria tenang tapi mematikan. "Kau tidak berpikir Duke Frelie akan senang melihat pengantinnya terluka, bukan?" 

"J- jangan manja. Aku kan tidak melukaimu–"

"Kalau begitu bagaimana kalau kita membiarkan Duke Frelie memutuskan sendiri?" 

Madam Gina menjadi pucat. Meski wanita satu ini penuh kebanggaan dan sering merendahkan Lyria, Gina tetap saja takut pada Duke Frelie. 

"Aku, aku akan lebih berhati-hati...," kata wanita itu dengan lemah. Tatapan Lyria menjadi dingin. Dia puas dengan pergantian sikap Madam Gina. Bahkan Madam Gina menghentikan gerutuannya yang tidak perlu. Wanita itu juga menjadi lebih lembut saat menangani rambut dan riasan Lyria. 

Butuh beberapa jam bagi Lyria untuk bersiap-siap. Namun rasanya seperti hanya beberapa menit. Dada Lyria terasa seolah hancur. Dia merasakan pasir di tenggorokannya, rasanya kasar ketika ia menelan ludah. 

Gadis yang melihat Lyria dari cermin memiliki lipstik merah, kontras dengan kulit putihnya. Lingkaran hitam di bawah matanya telah ditutupi bubuk. Pipinya memiliki warna merah muda yang menawan. 

Dia tampak cantik. Sebuah boneka cantik, dengan tatapan datar dan kosong. 

"Kereta sudah datang, Tuan Putri, maksudku Duchess," kata seorang pelayan gadis dengan gugup.

Kata 'Yang Mulia' menyengat dada Lyria. Hari ini, dia akan menjadi seorang Duchess untuk Duke Frelie yang terkenal. Bukan lagi seorang Tuan Putri.

"Bagaimana dengan Paman?" Lyria harus bertanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya. 

Gadis itu ragu-ragu. "M–Marquis t–tidak merasa enak badan... D–Duchess...."

Lyria memejamkan mata. Kejadian malam sebelumnya telah mengguncang Lyria. Namun ternyata lebih mengguncang pamannya. Lyria bisa mengerti. Pamannya merasa tidak berdaya. Perasaan seperti itu akan menjadi racun dalam keseharian. 

Seorang yang merasa tidak berdaya akan mulai meragukan diri sendiri dan apa yang kita mampu lakukan. Perasaan itu akan menggerogoti jati diri dan membuat kita merasa tidak berharga, atau bahkan merasa seperti kita seharusnya tidak pernah dilahirkan sama sekali. 

Itu, Lyria dapat mengerti. 

Apa yang dia tidak mengerti adalah mengapa pamannya yang merasa seperti itu ketika Lyria lah yang menikah dengan Duke Frelie. Lyria tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghibur pamannya. Dia bahkan tidak mencoba. 

Lyria menegakkan punggungnya dan mulai berjalan melalui lorong. Dia menghentikan langkah setelah melewati beberapa kamar dari kamarnya sendiri dan mengetuk dengan lembut. 

"Selamat tinggal, Paman," katanya dari pintu, "Jangan-" Suaranya remuk. Dia berusaha keras untuk tidak menitikkan air mata dan menenangkan bibirnya yang gemetar. 

"Jangan khawatirkan aku. Aku yakin Bibi Myrilla sudah memberitahumu. Kami adalah keturunan phoenix. J-jadi... kita tidak mati dengan mudah." 

Lyria tersenyum tipis. Tenggorokannya sangat sakit, tetapi dia harus mengucapkan satu kalimat terakhir.

The Dawnless SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang