Ep 11: Naga Kematian

612 168 26
                                    

Hal pertama yang Lyria lihat adalah warna hitam. Sebuah gereja yang dibangun dari batu berwarna hitam, tampak seperti megalit besar di tengah kota. Di atas bangunan, terdapat sebuah salib yang dipasang tinggi di langit. 

Lalu ada percikan merah.

Karpet beludru berwarna merah yang memanjang dari tempat kereta Lyria berhenti sampai ke altar. 

Sebuah tangga menjulang tinggi sebagai hal terakhir yang menghalangi dirinya mencapai pintu utama gereja. Sepatunya yang yang berwarna putih melangkah begitu lambat di karpet berwarna darah itu.

Menyesakkan.

Lyria menunggu tiga detik sebelum melewati anak tangga terakhir. 

Tiga detik yang mencekik.

Semua mata menatap ke arahnya, sama seperti di pesta dansa kemarin. Tapi kali ini, setiap tatapan terasa seperti memukul perut Lyria. Membuatnya sulit bernapas. 

Mata Lyria terpaku pada buket anyelir putih di tangannya. Bunga yang melambangkan cinta murni dan keberuntungan. Tentu saja, itu adalah bunga yang salah untuk Lyria.

Dia tidak memiliki cinta yang murni itu. Tentunya tidak kepada Duke. 

Baik bunga maupun pemandangan gereja benar-benar memuakkan. Namun bila Lyria harus memilih, Lyria memilih untuk menatap bunga saja. 

Dari tepi lapang pandangnya, Lyria bisa melihat sepatu putih Duke Frelie mengetuk lantai. Duke tidak sabar bagi Lyria untuk mencapai altar. 

Melihat Duke seperti itu membuat Lyria ingin semakin memperlambat langkahnya. Pada saat yang sama, Lyria merasakan tekanan pada tenggorokannya. Sejak kemarin malam, ada memar hitam dan biru yang mengelilingi leher Lyria. Madam Gina dan beberapa pelayan Bollein melihat tanda itu. Tidak satupun dari mereka ada yang bereaksi terhadap memar di leher Lyria, dan Lyria hanya meminta sebuah selendang untuk menutupinya seakan memar itu adalah hal yang biasa.

Memar itu tidak sakit. Namun saat Lyria berjalan lebih dekat menuju Duke Frelie, Lyria merasa jalan napasnya menipis. Tiba-tiba dia merasa selendang di lehernya justru semakin mencekiknya, seperti Duke Frelie telah mencekiknya malam kemarin. 

Lyria sadar langkahnya menjadi sedikit tidak stabil. Kakinya gemetar. Dia sangat ingin sekali untuk berlari dari gereja terkutuk ini. 

Aku tidak boleh berlari. 

Lyria mengatupkan bibirnya dengan keras kemudian menggigit bagian dalam pipinya. Butuh semua kekuatan baginya untuk mengambil satu langkah lagi. 

Kemudian lagi.

Dan lagi. 

Musik telah berhenti di telinganya, tetapi dia tidak peduli. Yang dia dengar saat itu hanyalah dengungan keras yang memekakkan telinga. 

Aku tidak akan lari. 

Lyria bisa merasakan asam sudah berada di tenggorokannya. Dia ingin muntah saat itu juga. 

Keringat menetes di bagian belakang lehernya meskipun udara dingin. Lyria mengencangkan cengkeramannya pada buket. Dia pikir imajinasinya di masa yang buruk ini telah berlari terlalu jauh. Karena Lyria merasa mencium sesuatu yang terbakar. 

Kemudian Lyria mendengar teriakan yang sangat keras. Jeritan itu menyakiti telinganya. Ia pikir itu adalah teriakannya sendiri. 

Aku tidak akan lari. 

Tiba-tiba, dia memikirkan pria yang menghabiskan malam bersamanya. Hanyalah sebuah momen singkat. Namun sebuah momen singkat yang indah. Memikirkan pria yang menatap Lyria dengan senyum jenaka itu entah bagaimana sedikit meredakan perasaan sesak di dada Lyria. 

The Dawnless SagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang