Columba

218 28 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kenapa?"

Devan menegakkan punggungnya yang semula bersandar pada pembatas rooftop. Ia memperhatikan penampilan Luna, lalu tersenyum miring.

"Gue nggak punya banyak waktu di sini!" tegur Luna karena Devan tak juga bergerak menyampaikan maksudnya. "Dan gue mohon sama lo, biarin gue tenang sekolah di sini!"

Devan mengangguk mengerti. "Gue juga nggak punya waktu ngeladenin lo!" Cowok itu mengeluarkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal dari belakang punggung. "Ini bagian lo!" Devan menyerahkan pada Luna.

Awalnya Luna bingung, namun sedetik kemudian rahangnya mengeras menyadari sesuatu. Sontak, tangannya menepis amplop yang diberikan Devan padanya. "Gue nggak butuh duit lo!"

Devan mendengus, tertawa geli. Ia memalingkan wajahnya sejenak. "Nggak usah belagu lo! Ini duit biar lo nggak perlu jual diri!" hardiknya merendahkan.

Luna menggeram tertahan. "Gue nggak pernah jual diri."

Kilatan marah terpancar dari mata Devan. Auranya menegangkan di sekeliling cowok pemilik manik hitam legam itu. "Oh ya? Lo pikir gue nggak tau apa yang mau disebarin Noval waktu itu? Foto lo di club kan?"

Luna tidak tahan untuk menjaga tangannya tetap diam di tempat.

"Jaga omongan lo! Jangan sembarangan ngomong kalo nggak ngerti jalan ceritanya."

Punggung Luna semakin mengecil sebelum hilang ditelan pintu rooftop.

Pipi Devan berdenyut tepat setelah Luna melayangkan tamparannya. Cowok itu tidak meringis kesakitan, ia justru mengeluarkan senyuman miringnya. Senyuman miring yang terkesan miris. Luna pikir Devan tidak ingin bebas juga dari tuntutan yang diberikan ayahnya?

"Padahal kalo lo mau ketemu sama Papa, masalah gue selesai, Kak."

🌠🌠🌠

"Saya curiga dengan satu murid di Pelita Bangsa."

Kalau lo memang pengen tau, dia ada di Pelita Bangsa. Iya, sekolah gue sendiri.

Percakapan tadi malam mengganggu otak Luna. Dimana Pak Bambang mencurigai seseorang beserta alasannya.

"Noval. Dia yang kelihatan paling nggak suka dengan Mentari. Dan waktu berita Mentari hamil itu tersebar, Noval yang kelihatannya paling marah. Saya selalu memperhatikan siapapun yang berurusan dengan Mentari di sekolah. Itu semua demi menjalankan wasiat sahabat saya untuk menjaga anaknya."

Luna memperhatikan dalam diam cerita Pak Bambang.

"Gue tau lebih banyak hal daripada kelihatannya."

"Kamu tau apa reaksi Noval setelah mendengar kabar Mentari bunuh diri? Dia senang!'

Luna memukul ringan kepalanya sendiri. Mencoba mengenyahkan pemikiran yang memenuhi otaknya itu.

Semesta Bercerita (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang