Lacerta

192 24 2
                                    

🌠🌠🌠

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌠🌠🌠

Kepala Orion tertunduk. Melupakan rasa nyeri yang menyebar di seluruh wajah, ia lebih mengkhawatirkan kemungkinan terburuk akan masalah ini.

"Gue pasti belum cerita ya soal ini ke lo?"

Genta menempati sisi kanan Orion yang kosong. Sejenak, ia memperhatikan wajah temannya dari samping. Semakin hari mengenal Orion, semakin Genta dibuat bingung dengan rahasia-rahasia mengejutkan cowok itu. Dari sini ia sadar, bahwa ia tidak sedekat itu dengan Orion.

Dalam hati ada sedikit rasa kecewa. Namun terkadang ia juga merasa kasihan pada Orion.

"Penyakit bokap gue ...."

Ada setruman yang menyengat jantung Genta saat kalimat itu keluar dari mulut temannya.

"... Gue takut mewarisinya."

"Penyakit apa?" potong Genta cepat.

"Pikun."

"Nggak usah bercanda!"

Saat mencoba mengeluarkan tawa, Genta sadar ini bukanlah lelucon. Cowok itu kembali diam.

"Tapi bukan berarti lo jadi pembunuh kan?"

Orion bungkam selama beberapa saat. "Itu dia masalahnya ... Ini nggak sesederhana keliatannya."

Genta menghembuskan napas berat. "C'mon! Lo nggak akan mungkin jadi pembunuh hanya karena mewarisi penyakit pikun bokap lo, Orion! Lagian kalaupun seandainya lo memang penjahat, kejadian sebesar ini nggak akan mungkin terlupakan begitu aja!!"

"Lo nggak akan ngerti!" sanggah Orion secepat mungkin. Kontan membuat mulut Genta terkunci.

Sepertinya Orion harus menceritakan satu kejadian mengerikan ini. "Bokap gue pernah menyiksa Rigel waktu dia berantem sama Johan." Ada jeda waktu yang Orion berikan pada Genta. Bermaksud semoga temannya bisa mencerna setiap huruf yang keluar dari mulutnya. "Tangan Rigel disayat, terus ditetesi jeruk nipis."

Genta bergidik ngeri membayangkannya.

"Lo tau apa yang paling mengerikan dari kejadian itu?" Orion menerawang jauh ke depan. "Beberapa hari setelahnya, bokap gue nggak ingat sama sekali perbuatannya. Dia sampai bengong waktu gue menyinggung pembicaraan ini. Bokap keliatan takut ... Dia takut berbuat lebih buruk dari itu."

🌠🌠🌠

"Itu punya Atlas ya?" tanya Luna, menunjuk sebuah kamera DSLR yang dipegang Zaman.

Senyuman Zaman mengembang. Cowok itu mengangguk. "Iya."

"Boleh pinjam sebentar?"

Kamera berpindah tangan. Luna melihat-lihat sebentar. Ada hawa dingin yang tiba-tiba menusuk kulitnya. Bayang-bayang Atlas seolah terputar di memori ketika Luna menyentuh benda itu. Mereka memang tidak dekat. Tapi Luna seolah merasakan bagaimana begitu kehilangan layaknya ia kehilangan teman dekatnya. "Lo pasti sering buka hasil jepretannya Atlas ya kalo lagi kangen?"

Semesta Bercerita (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang