Di anak tangga ke tiga, Luna duduk termenung. Ketika meminta penjelasan dari Hanum semalam, semuanya memang sudah jelas. Ia juga masih tidak menyangka masalah keluarganya bisa serumit ini. Belum lagi urusan dengan papa kandungnya. Ia belum terlalu yakin ingin menginjakkan kaki di rumah Devan untuk mengunjungi papanya. Mungkin tidak akan pernah yakin. Bayangan mamanya Devan masih terngiang di benaknya.
Seseorang tiba-tiba saja mengambil posisi duduk di sampingnya. Untungnya tidak ada orang lagi di lantai atas. Semuanya sudah pulang. Atau palingan berada di beberapa ruangan ekstrakurikuler.
"Belum pulang?"
Luna memutar malas bola matanya. "Kalo udah pulang, gue nggak mungkin duduk di sini, Antares …."
Ares terbahak. Ia lalu mengangguk mengerti. Cowok itu menyapa salah satu teman sekelas. Namun tetap bergeming ketika beberapa temannya mengajak pulang bersama. Ia hanya menganggukkan kepala dan menyuruh mereka pulang duluan.
Cowok yang memakai liontin perak dengan huruf A sebagai bandulnya itu ingin menemani Luna. Tidak tahu apa alasannya. Hanya saja ia merasa harus menemani gadis itu dikala semua orang menjauh.
"Ya udah gue temenin."
Desiran aneh muncul di hati Luna. Ia tahu, mereka sekarang tidak mempunyai hubungan apapun lagi. Tapi tetap saja perlakuan Ares membuatnya menaruh harapan lebih pada cowok itu.
Sebenarnya Luna ingin menjauh. Namun, Ares malah seringkali mendekatinya dengan sejuta alasan tak terduga.
"Soal kejadian malam itu …."
Luna langsung berdiri. "Gue pulang ya?!" potongnya dengan cepat sebelum Ares membawa kenangan buruk itu lebih jauh lagi.
"Lun! Apa karena itu lo pindah?" Ares mendongak. Menatap penuh harap pada gadis yang terlihat sangat tidak nyaman itu. Namun Ares harus tetap mencari tahu kebenarannya.
Meski awalnya Luna ingin terus bungkam. Namun pada akhirnya ia mengangguk perlahan. Matanya sorot akan kesedihan. "Gue … belum sempet ngucapin terima kasih sama dia."
"Lun, maaf … Gue nggak bermaksud ninggalin lo malam itu!"
🌠🌠🌠
"Atlas! Jangan tidur!"
"Atlas! Tetap buka mata lo!"
"Atlas! Please!"
"Please ... Atlas ...."
Mata itu terbuka secara cepat. Diiringi teriakan yang membangunkan seluruh penghuni rumah.
Orion memandangi dua tangannya, isak tangis bercampur teriakan yang tidak mau berhenti menjadi pembuktian bahwa ia benar-benar ketakutan. Ia terus seperti itu, menangis keras dengan mata tertuju pada dua tangan yang berlumuran darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Bercerita (✓)
Ficção AdolescenteTentang Orion yang mencari jawaban Tentang Luna yang mencari keadilan Dan tentang Semesta yang bercerita pada kita 🌠Jika kau masih belum mengerti akan teka-teki kehidupanmu, biarkan semesta yang bercerita🌠 (Beberapa part mengandung unsur 18+ Untuk...