Vela

186 24 0
                                    

🌠🌠🌠

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌠🌠🌠

"Ada apa ya ini, Pak?"

Di lautan kerumunan orang-orang yang panik, Orion bertanya pada salah satu keluarga pasien. Terlihat semua orang memandang khawatir pada gedung besar yang berdiri kokoh itu.

"Saya nggak tau. Tiba-tiba saja ada suara seperti petasan, lalu kami disuruh keluar."

"Waduh ... Parah banget ini mah. Pasien-pasien yang masih di dalam juga kasihan," sahut salah satu wanita.

Yang awalnya hanya ada tiga mobil polisi, kini jumlah mereka bertambah.

Orion semakin bergerak tidak tenang. Ia mencoba menghubungi Aksa.

"Lo dimana?"

"Gawat! Gue tadi lagi ke bagian administrasi sebentar waktu ada tembakan pertama. Waktu mau ke ruangan Rigel, udah nggak bisa!"

"Nggak bisa gimana maksud lo?" geram Orion. Kekhawatiran sudah menguasai dirinya. Dengan langkah lebar dan pasti, ia menerobos masuk. Berlari dan mengabaikan teriakan banyak orang yang menyuruhnya keluar.

"Udah ada polisi yang mencegah orang-orang ke lantai atas! Gue juga nggak ngerti gimana mereka bisa sampai secepat ini."

Orion mengumpat. "Gue ke atas!"

"Apa? Nggak akan bisa! Ini pertarungan antara kelompok mafia dan polisi. Lo bisa-bisa mati, Orion!"

"Nggak peduli. Rigel masih di dalam."

"Yon! Biarkan polisi yang menangani ini."

"Gila lo. Nggak akan mungkin gue biarin adik gue jadi korban mereka."

"Mending lo balik keluar sekarang! Gue rasa ini ada hubungannya sama si Bambang Bambang itu. Yang kata polisi adalah buronan."

"Terus?" Orion memasuki lift. Menekan tombol 4 yang akan membawanya ke lantai empat, tempat dimana Rigel berada.

"Dia memang mengincar Rigel gue rasa."

"Ya terus maksud lo apa, Aksara?? Gue harus merelakan Rigel dibunuh sama dia gitu?" kesal Orion. Sepatunya mengetuk tidak tenang.

"Lo nggak ngerti gimana situasinya sekarang—"

Saat lift berdenting, ia secara sepihak mematikan sambungan.

Pintu terbuka. Nampak lorong senyap di depan. Namun, saat kaki Orion satu langkah keluar dari lift, ia tahu bahwa di lantai ini ada banyak orang.

"Nah ... Sampai juga akhirnya!"

Lima orang termasuk Bambang dan Rigel. Mereka memegang senjata api. Sementara Rigel sendiri berada di cengkeraman pria yang menodongkan pistol di kepala adiknya.

Kemarahan menguasai Orion. Begitu kakinya kembali melangkah, sebuah tembakan peringatan mengejutkannya.

"Satu langkah, satu tembakan," kata pria bernama asli Irawan itu. Lima tahun ia hidup dengan menjadi Bambang Irawan sedikit menyiksanya. Tidak pernah ia menyangka akan bertindak sejauh ini melawan komplotan bocah semacam Orion.

"Perkenalkan! Mereka bertiga adalah penembak amatir yang sedang saya latih."

Meski tahu ini adalah akhir puncak kejayaannya, Irawan ingin bermain-main sedikit dengan semua orang.

"Jangan langsung tembak di kepala ya? Nggak seru soalnya," peringat pria itu. Ia lalu tersenyum lebar, mundur melepaskan Rigel.

Membuat dua kakak beradik itu berdiri di tengah-tengah lorong dengan jarak yang lumayan. Mungkin tujuh meter.

Sementara tiga anak buahnya sudah bersiap siaga. Mereka menatap iba pada Orion yang jelas-jelas sudah menemui ajalnya.

Kalau setiap langkah adalah satu tembakan, jelas, saat keduanya bertemu, kondisi Orion sudah sangat parah. Tubuhnya sudah pasti hancur dipenuhi lubang bekas peluru.

"Oke!" kata Orion mantap. Ia menggerakkan kakinya sebagai bentuk pemanasan.

Hidup atau mati, ia harus bisa memeluk adiknya.

Karena ketiganya hanya penembak amatir, tentu dihadapkan pada kondisi seperti ini sangat menyiksa. Apalagi sebenarnya mereka adalah tawanan.

Jari-jari sudah menempel kuat pada pistol. Dua orang di sebelah kanan dan satu orang di sebelah kiri.

Orion berdecih. Sempat mengejutkan mereka. Namun itu belum seberapa daripada ketika ia berlari kencang.

Karena panik, tiga orang tadi menembak subjek secara acak. Hujan peluru memekik di setiap sudut ruangan.

"Kak Ori!!!"

Tangisan keras itu segera teredam oleh pelukan.

"Sssttt ... Nggak papa!"

Keduanya meluruh ke lantai. Rigel tidak berani hanya sekedar mengangkat wajah. Ia tahu beberapa peluru mungkin saja menembus tubuh Orion. Dan fakta itu sudah cukup membuatnya ketakutan.

"Pergerakan yang tidak disangka-sangka."

Tepuk tangan menggema. Dengan napas tersengal-sengal, Orion memberikan tatapan tajamnya pada sosok yang kini mendekat.

Ia semakin merapatkan jarinya pada kepala Rigel. Mengusahakan agar anak itu berada dalam lindungannya. Meski kesadaran Orion semakin menipis seiring darah yang keluar, ia berusaha tetap terjaga.

Kalau ada yang harus mati di sini, jawabannya adalah Orion.

Benar saja. Moncong pistol ditempelkan pada pelipisnya saat Irawan sudah berdiri di samping.

"Pesan terakhir?"

Saat itulah Rigel memberanikan diri mengintip keadaan. Mata kakaknya menutup lelah. Wajah itu sudah pucat pasi. Sekarang ia tahu seberapa banyak darah yang keluar sampai membanjiri lantai.

"Kak ...."

Senyuman yang diterima Rigel begitu tulus. "Nggak papa, Dek ... Kamu jadi anak baik ya?"

Mata Rigel kembali berkaca-kaca. Dadanya begitu sesak menyadari apa yang Orion pikirkan. Ia menggeleng kuat menolak semuanya.

Tapi buru-buru Orion kembali memeluk. Kali ini lebih erat lagi. Bisa Rigel rasakan kecupan berulang pada rambutnya. Anak itu semakin meraung.

"Anda boleh membunuh saya sekarang, tapi jangan sekali-kali anda menyentuh adik saya!"

Itu kalimat terakhir yang Rigel dengar sebelum suara ribut-ribut dan tembakan telah menghancurkannya.

Dua tangan yang semula memeluknya erat telah lunglai.

Perut Rigel seperti diobrak-abrik saat sadar ada cairan meleleh melewati dahinya. Dan ia tahu itu bukanlah darahnya. Ia berteriak kencang. Namun tidak berani melihat keadaan.

🌠🌠🌠

28-06-2023

Semesta Bercerita (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang