Terompet berbunyi rendah sebanyak tiga kali, barisan orang dengan pakaian serba hitam itu menunduk dengan membawa sebuah krisan putih di tangan mereka.
Diantara kekhusyukan doa yang terhantar untuk mendiang Raja, Ayrece mengangkat tangan kirinya, butiran salju lembut turun dengan perlahan.
Seiring dengan itu, semua orang mengangkat wajah mereka kemudian menatap salju yang mulai turun seolah menyejukkan suasana yang begitu sesak dan panas.
Ribuan orang berpakaian hitam itu memenuhi halaman Dantevale. Para bangsawan di utara, prajurit, rakyat utara, dan para tamu Dantevale.
Mereka semua berkumpul untuk mengirim doa kepada Raja mereka yang telah berpulang mendahului mereka.
Lebih dari siapapun, orang-orang di Dantevale tahu bahwa kematian sang Raja adalah sebuah pengorbanan.
Setelah berita kematian tersebut tiba di Dantevale, semua orang mengenakan pakaian duka nya dan meraih krisan putihnya.
Althare yang berdiri paling depan melangkah maju kearah tangga. Di anak tangga keempat, terpasang sebuah lukisan Callister.
Althare terdiam untuk sejenak menatap lukisan itu tanpa berkata apapun, sampai seseorang menyentuh lengannya.
Letticia menyingkap tudung hitam yang dikenakannya, kemudian dengan langkah perlahan ia mendekati lukisan itu dan menaruh krisannya didepannya.
"Dia akan baik-baik saja, kan ?" walaupun lirih, Althare dapat mendengar dengan jelas suara Letticia yang bergetar itu.
Althare melangkahkan kaki kemudian menaruh krisan kedua dihadapan lukisan itu. "Seluruh negeri sedang berduka dan mendoakannya, ia akan baik-baik saja," ucapnya menenangkan Letticia.
Kemudian dengan menggandeng bahunya, mereka menepi dan mempersilahkan orang selanjutnya untuk menyampaikan salam terakhirnya dan menaruh krisan mereka.
Ia adalah seseorang yang benar-benar diluar dugaan.
Ia sendiri yang datang ke Dantevale dan menyampaikan berita duka itu sebelum Istana benar-benar mengeluarkan beritanya.
Demelza, Ibu Suri Kerajaan ini, dan Ibu dari ia yang telah tiada.
Kain yang tadi menutupi kepalanya sudah berada ditangannya, ia berjalan dengan tatapan kosong kearah lukisan putranya.
Di belakangnya, Putri Earlene mengikuti langkah ibundanya sembari menahan tangis.
Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menangis dihadapan sang Ibu.
Mereka berhenti dihadapan lukisan sang Raja, di lukisan itu walaupun tidak tersenyum, wajah cerah dan menyenangkan Callister terpampang.
Demelza menatapnya, airmatanya mengalir tak bisa ia kendalikan. Di tengah halaman Dantevale yang dingin itu, ia merasakan matanya yang memanas.
Dadanya yang sesak akan banyakanya penyesalan, ia bahkan tak bisa berkata apapun, hanya menatap lukisan putranya dan menangis tanpa suara.
Earlene menarik napas dalam-dalam dan menahan airmatanya, ia pun juga tak bisa berkata apa-apa.
Dengan mulut masih terkunci ia menaruh krisan putihnya dihadapan lukisan kakaknya. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahannya agar tidak keluar.
Earlene meraih tangan ibunya yang mulai bergetar.
"Ibu harus memberikan bunga dan doa Ibu kepada kakak," ucap Earlene lembut, ia mengusap lengan ibunya untuk menenangkannya.
Demelza masih terdiam, pandangannya masih kosong, dadanya sesak dan tubuhnya lemas, ia sangat kalut saat ini.
"Aku bahkan tidak bisa mengantarkannya ke pemakamannya," ucapnya dengan suara bergetar, Earlene menatap wajah ibunya yang mulai pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Winter
Fantasy15 tahun adalah waktu yang Ayrece habiskan tanpa mengetahui siapa dirinya sebenarnya, ia hanya terus berkelana dengan seorang gipsi yang ia panggil bibi. Namun secara tiba-tiba, saat ia datang ke sebuah tempat dimana salju tidak pernah meleleh, ia m...